BAB 4: Bimbingan Sesi I

77.6K 7.7K 317
                                    

Mahesa disibukkan dengan persiapan semester baru, selain itu mencari keberadaan Annalise juga bukanlah sesuatu yang mudah. Meskipun Aria telah pergi ke kantor kepolisian untuk melaporkan Annalise sebagai orang yang hilang, investigasi mereka tak kunjung membawakan hasil seminggu ini. Mahesa pun telah menyewa jasa detektif swasta, tapi sama halnya tak mendapatkan kabar apa pun.

Pria itu menatap cincin di tangannya. Dilihatnya inisial AM untuk Annalise dan Mahesa dengan tatapan sedih. Ia tak ingin putus asa dalam pencarian Annalise, bahkan dalam mimpi terburuknya pun ia masih ingin bertemu Annalise hanya untuk mendengar alasan wanita itu meninggalkannya.

Sebuah ketukan dari pintu ruang kerjanya membangunkan Mahesa dari lamunan singkatnya.

"Permisi, Pak?" panggil Aria. Mahesa menghembuskan napasnya, entah mengapa ia tak ingin bertemu dulu dengan gadis itu. Tidak, Aria sama sekali tidak mirip dengan Annalise, tapi hanya saja ia menyesali keputusannya menerima tawaran gadis itu. Ada perasaan tak tega melihat wajah polosnya, Mahesa merasa sangat jahat kepada dua saudari itu. Bagi orang yang tidak tahu pasti menganggap Mahesa hanya memanfaatkan Aria.

Mahesa menelungkupkan wajahnya di meja frustasi, lagi-lagi pintu diketuk membuat Mahesa mengerang. Ditutupnya laptop dengan cukup keras. Dengan langkah cepat ia membuka pintu membuat Aria yang ingin mengetuk lagi terdiam di tempat.

"Ada apa?" tanya Mahesa dengan nada dingin.

"Ah itu ...." Sepertinya Aria tak menyadari kondisi tak bersahabat dari Mahesa. Ia menggiring tubuh Mahesa begitu saja, menyuruh pria itu untuk duduk di kursi kerjanya kemudian ia menyusul berdiri di depan meja. Mahesa yang mendapat perlakuan semena-mena dari Aria hanya menggeleng kecil membiarkan gadis kecil itu.

Aria tersenyum lebar menatap Mahesa, ia mengeluarkan map dan mendorong beberapa lembar kertas hasil pekerjaan tangannya. Di halaman depan tertera tulisan proposal skripsi membuat Mahesa semakin bingung. Aria sendiri yang bilang padanya kalau semester ini ia tidak akan mengambil skripsi.

"Apa ini?"

"Bapak mau nggak jadi dosen pembimbing saya?" tanya Aria masih dengan mempertahankan senyum lebarnya. Bagi Aria ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Kapan lagi, kan? jarang-jarang suamimu adalah lulusan Harvard, ya, walaupun cuma sementara, tapi maka dari itu Aria ingin memanfaatkan otak cerdas orang itu.

"Ha? Kamu, kan, tidak mengambil skripsi kenapa memulai?"

Aria sudah tahu Mahesa akan bertanya seperti itu maka ia sudah menyiapkan jawabannya sedari kemarin. Ia berdehem dan memasang postur tubuh ala sedang bernegosiasi bisnis.

"Begini, Pak ... saya tahu bahwa saya sangat tertinggal dengan teman angkatan saya lainnya maka dari itu saya mencoba sebisa mungkin mengatur ulang prioritas hidup saya dan akhirnya step awal yang saya harus lakukan adalah mengembalikan fokus saya pada urusan akademik. Dari situ saya berusaha mengefisiensikan waktu saya dengan menggunakan waktu berharga saya untuk mulai menulis skripsi agar di semester yang akan datang, saya bisa tinggal menjalani sidang lalu mengejar teman-teman untuk wisuda bersama. Istilahnya saya ingin mengambil skripsi secara informal."

Aria menarik napas panjang lalu melanjutkan pemaparannya pada Mahesa, "Seperti yang bapak katakan pada saya seminggu lalu, saya saat ini sedang menjalankan misi fakultas poin ke-dua yakni 'Menyiapkan pemimpin yang memiliki tanggung jawab sosial dan mampu menghadapi perubahan lingkungan global' dan ini adalah aksi tanggung jawab saya atas kelalaian saya selama beberapa semester terakhir. Sebelum mencapai perubahan global saya ingin beradaptasi dari skala yang lebih kecil yaitu saya ingin menghadapi perubahan di diri saya sendiri dulu, Pak."

"Sebuah perubahan yang bagus," puji Mahesa membuat Aria berteriak senang di dalam dirinya. Ia senang karena pria itu mengapresiasinya dan satu langkah lebih dekat menuju rencananya.

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang