BAB 36: Satu Lagi Cahaya Meredup

39.9K 3.5K 115
                                    

Hari yang Mahesa dan Aria janjikan pada Annalise akhirnya datang. Wanita itu tersenyum lebar tapi Aria maupun Mahesa sama sekali tak bisa merasakan kebahagian yang dirasakan Annalise. Dokter mengizinkan Annalise untuk melakukan rawat jalan. Kedua orang tua mereka telah merapikan rumah sampai layak dihuni kembali. 

Sehari sebelum pulang, Aria dan papanya bergotong royong membersihkan rumah sedangkan mamanya menemani Annalise di rumah sakit.

Kamar yang berdebu telah dibersihkan. Aria sengaja menambahkan beberapa figura foto mereka pada meja kecil kamar Annalise. Terakhir ia juga meletakkan foto terakhirnya yang mengenakan selempang kelulusan setelah sidang. Aria berharap kakaknya nyaman dengan suasana baru yang telah Aria siapkan.

Hati gadis itu terasa sakit saat melihat papanya duduk memijat pelipis sambil memandangi buku tabungan. 

"Pa, sarapan dulu sebelum ke rumah sakit lagi?" Pria itu segera menghapus keringat dari keningnya dan menutup lembaran buku tabungan tersebut. 

Aria sempat mengintip, dilihat dari perbandingannya, pengeluaran mereka jauh lebih banyak dari pemasukan kedua orang tuanya. Sedikit demi sedikit hal itu mulai menggerogoti bagian keuangan yang ditujukan sebagai tabungan masa tua mereka. Aria tidak tahu harus a
bagaimana, ia baru saja mengirimkan form pendaftaran sekolah koki di Surabaya. Aria tidak berpikir sampai sejauh bahwa kedua orang tuanya itu akan membiayai kehidupannya lagi. 

Di usia sekarang sudah selayaknya Aria menghasilkan uang sendiri, kan? Bukan malah menambah beban kedua orang tua.

Aria mulai ragu akan pilihan yang telah diambil. Setelah memastikan papanya makan, Aria berdiam diri di kamar sambil mulai merancang perencanaan baru. Ia membandingkan kebutuhan hidup di Surabaya dan Jakarta. Sama-sama tinggi. Kalau dia bisa mengambil pekerjaan sampingan, apa bisa dia melepaskan diri? Biaya sekolahnya juga tidak murah. 

Mendapatkan jalan buntu Aria mengusap wajahnya gusar. Melayang sudah cita-citanya menjadi pengangguran. Ia tak bisa selalu menggantungkan diri pada papanya yang juga memiliki tanggungan Annalise. Aria mencoba alternatif lain mencari pekerjaan samping setidaknya ijazahnya bisa digunakan untuk melamar pekerjaan level entry. Dia juga tidak ada masalah jika hanya menjadi pelayan di sebuah restoran atau penjaga kasir di minimarket. 

Segera Aria menutup laptopnya saat pintu kamar diketuk dari luar. "Aria, kamu jadi ikut menginap di rumah sakit?" tanya papanya dari luar kamar.

"Ikut, Pa! Tunggu sebentar." jawab Aria sambil mengambil tas selempangnya.

Ada satu percakapan yang membuat Aria membuang muka ke luar jendela mobil. Digigitnya bibir keras-keras agar tidak menangis. Dengan sedikit tawa canggung papanya bilang telah menjual vila mereka di Ubud tanpa aepengetahuan mama.

Padahal itu adalah vila yang keduanya bangun dengan uang hasil keringat mereka selama ini. Vila kecil yang ditujukan sebagai tempat istirahat setelah pensiun ternyata sudah beralih tangan beberapa hari yang lalu.

Tangan gadis itu saling meremas dan mencoba menjawab dengan suara yang tidak bergetar. "Begitu ya? Apa aku batalkan saja sekolahku, Pa? Rasanya sekarang lebih baik aku mencari kerja saja. Membuat kue dan sejenisnya bisa dilakukan di waktu luang tidak perlu sampai sekolah lagi, kan?"

Bima mengingat bagaimana wajah Aria yang bersinar membicarakan passion barunya dalam dunia pastry. Dia sudah banyak tidak adil terhadap Aria selama ini. Tak ingin membedakan antara kedua anaknya, Bima merasa mampu dan cukup kuat untuk melewati semua ini. Aria hanya sedikit terguncang karena kabar vila mereka dijual.

"Tenang, selama papa masih sehat dan kuat berkerja, mau bangun sepuluh vila lagi pasti bisa, kok, kamu nggak usah mikirin biaya apapun, kamu tanggung jawabnya papa. Lagi pula, vila kita dibeli oleh orang yang kita kenal kok. Jangan khawatir sampai ditipu."

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang