Setelah mengucapkan ijab qobul, Aria langsung diboyong ke rumah Mahesa. Jika saja itu Annalise, Mahesa akan membawa istrinya ke Inggris untuk berbulan madu. Ia bahkan sudah menyiapkan segalanya untuk Annalise, tapi wanita itu menghilang begitu saja. Aria juga tak banyak meminta, gadis itu menurut saja apa yang dikatakan Mahesa.
"Ini akan menjadi kamar kamu dan pintu di sebelah akan menjadi kamar saya."
Aria mengangguk segera menyeret kopernya masuk ke dalam kamar. Kamar itu cukup polos tak ada furnitur apapun selain tempat tidur dan lemari. Ia mengecek kamar mandi dalam untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Matanya mulai menutup tatkala sebuah ketukan di pintu kembali menyadarkannya.
"Aria?" panggil Mahesa dari luar pintu. Gadis itu memutar matanya jengah, tapi segera memasang senyum palsu sebelum membuka pintu.
"Iya, Pak?"
"Ah itu ... apakah bisa nanti setelah kamu berganti pakaian kita berbicara sebentar?"
"Oke, um ... Pak Mahesa tunggu sepuluh menit dulu, ya. Aku bakal segera ganti."
"Take your time, nggak usah terburu-buru!" Aria mengangguk singkat lalu kembali menutup pintunya.
Otaknya berputar memikirkan cara untuk berinteraksi dengan Mahesa agar tidak canggung. Bahkan selama perjalanan di mobil tadi Aria maupun Mahesa sibuk dengan ponsel masing-masing. Oke, mungkin Aria adalah jenis manusia yang cukup vokal di setiap kegiatan kampus, tapi ia tidak pernah memikirkan skenario ini. Keahlian berbicaranya tiba-tiba hilang saat berhadapan dengan Mahesa.
Begitu pun dengan Mahesa, pria itu juga sibuk mencari cara agar Aria bisa nyaman selama tinggal di rumahnya. Annalise jarang bercerita tentang Aria, jadinya ia tak tahu banyak tentang gadis itu. Yang sering Annalise ceritakan bagaimana Aria terjatuh dari pohon di usia sepuluh tahun ataupun bagaimana anak kecil itu sering berdebat dengan kedua orang tuanya. Jika dipikir-pikir, selama berpacaran dengan Annalise tiga tahun ini, keduanya jarang berbicara tentang keluarga masing-masing. Jika bertemu pun Mahesa dan Annalise lebih memilih berbicara mengenai kondisi perekonomian atau pekerjaan.
Apakah karena itu Annalise pergi? Aku benar-benar payah. Mahesa mengutuk dirinya sendiri.
Lamunan Mahesa terhenti saat Aria menyapanya, gadis itu telah berganti pakaian kaos band dan celana training panjang. Bahkan, Mahesa sendiri tidak tahu kalau Aria adalah mahasiswa yang ia gagal luluskan di kelas statistik II dengan nilai D.
"Kamu kuliah?" tanya Mahesa tiba-tiba. Mata Aria membola tak percaya. Mahesa benar-benar tak mengenalnya!
"Ba-bapak benar-benar tidak mengenal saya? Maksudnya ...." Aria mendekatkan wajahnya hingga Mahesa ikut memundurkan badannya untuk menjauh. Aria termasuk golongan anak yang terkenal di lingkungan kampus, jikalau Mahesa sampai tak mengenalnya itu parah sekali buat Aria. "Bapak merasa wajah saya familiar, tidak?"
Mahesa terkekeh dan mendorong dahi Aria menjauh dengan telunjuknya untuk menjauh. "Tentu saja saya pernah lihat kamu, kamu, kan, adiknya Annalise. Beberapa kali Annalise menunjukkan foto keluarganya." Aria menggigit ibu jarinya memikirkan cara yang tepat untuk memberi tahu Mahesa.
Mahesa tersenyum melihat Aria menggigit ibu jarinya. Benar kata Annalise, Aria memiliki kebiasaan buruk menggigit ibu jari saat anak itu berpikir.
"Pak Mahesa benar-benar tidak pernah melihat saya di luar foto yang ditunjukkan kakak?"
Alis pria itu berkerut. "Memangnya kita pernah berpapasan? Oh, kamu kuliah, kan? Mungkin kita pernah berpapasan di sebuah seminar?" tanya Mahesa memastikan.
Aria menghembuskan napasnya lelah melihat Mahesa yang kini menyesap kopi yang pria itu siapkan sendiri.
"Saya mahasiswi Bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Call It Fate, Call It Karma (Complete)
RomancePemenang Wattys 2021 kategori New Adult [Cerita ini akan tersedia gratis pada 17 April 2023] Di hari bahagia sang kakak, Aria yang masih berstatus mahasiswa semester akhir justru harus menggantikan posisi Annalise sebagai pengantin saat kakaknya kab...