BAB 7: Penganguran Itu Pilihan

72.7K 6.9K 247
                                    

Aria duduk manis di kursi menunggu Mahesa yang sedang mempersiapkan makan siang mereka. Memang sejak menikah Mahesa yang bertanggung jawab memasak karena Aria tidak bisa. Mahesa juga tidak mempermasalahkan hal tersebut karena ia sudah terbiasa menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri jadi menambah satu porsi lagi tidak akan membebaninya.

Tangan gadis itu bergerak meraih sendok dan garpu. Dimainkannya dua alat makan tersebut layaknya orang yang sedang berbicara. Mahesa yang melihat dari dapur hanya menggeleng tak percaya.

Setelah siap disajikannya sepiring spagheti untuk Aria dan sepiring lain untuk dirinya sendiri. Keduanya makan dalam hening hingga selesai. Sekarang ganti tugas Aria yang mencuci piring serta peralatan dapur yang digunakan Mahesa memasak.

"Progres proposal skripsi kamu bagaimana?" tanya Mahesa mencairkan keheningan antar mereka.

"Ah itu ... dalam proses," jawab Aria pelan.

"Berapa persen? Kalau bisa secepatnya supaya bisa cepat lulus juga. Bulan depan seminar proposal harus sudah siap."

Aria berhenti mencuci piring sesaat, segera dia membilas tangannya dengan air mengalir kemudian kembali duduk di kursi tempat makannya tadi.

"Maksudnya bulan depan bagaimana?"

"Ya, bulan depan, September."

"Tapi, Pak, kan, saya belum- Ah, maksudnya saya nulisnya agak lama karena harus menulis dengan benar agar tidak membuat Bapak kecewa lagi."

Mahesa mengedikkan bahu, matanya masih fokus pada koran digital yang dibaca melalui smartphone-nya.

"Nggak usah perfect, adanya revisi juga untuk memperbaiki."

Aria bingung mencari alasan, sejujurnya dia bahkan belum menulis satu kata pun. Apakah dia harus berkata jujur saja sekarang? Ya atau tidak? Kenapa kerongkongannya tiba-tiba terasa kering? Berkali-kali Aria berdehem untuk menetralkan degup jantungnya.

"Ehem ... um ... sebenarnya Pak—"

"Kamu belum memulai?" potong Mahesa.

Aria meringis ketahuan bahkan sebelum ia membuka suara, digaruknya hidungnya yang tak gatal. Mahesa mendesah, "Thats it! Saya sudah tahu kalau begini jadinya, sekarang ambil laptop kamu terus ikut saya ke ruang kerja."

"Eh, tapi cuci piringnya?"

Mahesa tak peduli, kakinya tetap berjalan menuju ruang kerja meninggalkan Aria yang kini menghentakkan badannya kesal. Mau tak mau dia harus mengikuti perintah Mahesa, mengambil laptop kemudian menyusul pria itu.

Mahesa membuka lebar-lebar gorden dan jendela agar sinar matahari bisa menyinari ruangan tersebut tanpa menggunakan listrik. Aria menyingkirkan sofa kecil menjauh hingga ke dinding. Kini keduanya duduk lesehan di atas karpet bulu. Tak lupa ia mengambil bantal sofa untuk dipeluknya.

"Mulai sekarang kamu mengerjakan di sini. Kamu itu kalau tidak dikontrol bisa lulus tahun depan."

Aria tersenyum miris, gadis itu sampai tak bisa berucap apa pun untuk membalas ucapan pedas Mahesa. Dibukanya semua file yang ia butuhkan. Aria mencoba untuk fokus. Sedangkan Mahesa membawa tumpukan kertas hasil quiz dan pekerjaan rumah para mahasiswanya untuk dikoreksi.

Detik demi detik berjalan, mata Aria pun semakin terasa berat. Diputarnya badan ke kiri dan kanan agar kembali segar. Berkali-kali Aria mengubah posisi dari duduk menjadi tengkurap kemudian duduk lagi hingga beberapa kali hingga pada akhirnya ia memilih posisi tengkurap dengan kepala yang disandarkan pada bantal. Mahesa sendiri masih fokus mengoreksi.

"Aria, kenapa kamu bisa dapat nilai D di kelas ekonomi internasional?"

Aria mengerjap cepat saat ditanya, kantuknya hilang begitu cepat kemudian ia memasang wajah berpura-pura fokus.

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang