BAB 15: Keberadaan Hatinya

49.6K 6.1K 327
                                    

"Pak? Bagaimana keadaannya Kak Annalise?"

Mahesa tak bisa mendengar Aria. Pria itu berlalu meninggalkan istrinya yang berdiri terpaku di tempatnya. Aria bahkan tak bisa memanggil Mahesa sangking terkejutnya. Tangannya terulur, tapi tak ada yang menyahut. Aria ditinggal sendiri.

Gadis itu berjalan dalam kegamangannya. Tak dirasakannya awal menggelap juga mengirimkan tetes hujan pertama yang diikuti oleh banyak temannya. Aria berdiri di tengah jalan masih melamun. Ia bertanya-tanya, "Apa yang telah terjadi?" Kak Annalise telah ditemukan dan Mahesa meninggalkannya. Aria harusnya senang bukan? Tapi, kenapa hatinya terasa sangat sakit?

Aria bahkan tak mempedulikan yukatanya yang basah akibat hujan. Ia berterimakasih pada hujan yang mengaburkan air matanya. Kakinya bergerak ke raha tak menentu.

Pria itu meninggalkannya sendirian. Bahkan Mahesa sama sekali tak menoleh ke arahnya barang sedetik pun. Itulah yang diinginkan Aria, tapi kenapa justru ia menangis sekarang?

Tetesan air matanya makin deras juga suara tangisnya semakin keras.

"Bodoh, kenapa harus Mahesa, Ar? Nggak usah nangis! Kamu udah ngelakuin hal benar dengan mendorong Mahesa menjauh! Jangan nangis Aria ... Jangan Nangis ...."

Aria memukul dadanya berulang kali guna menghilangkan rasa sakit yang tak terperi. Ini adalah pertama kali Aria merasa sesakit ini. Bahkan bertahun-tahun tak dianggap oleh kedua orang tuanya saja tidak semenyakitnya.

Aria mengusap wajahnya yang basah dengan kasar. "Sedari awal Mahesa adalah milik Kak Annalise. Aku nggak pernah sedikit pun berada di posisi yang sama dengannya. Yang bukanlah punyaku akan selalu pergi ... Apa yang kamu harapkan Aria?"

Dirasakannya jematinya mulai mengerut. Giginya bergemelatuk karena cukup lama berada di bawah air hujan. Aria masih belum bisa menghilangkan segukannya. Dicarinya kontak Damar.

"Dam ...."

"Apa, Ar? Bentar, nanti gue telpon lagi. Masih sama Amanda, nih."

"Damar ... hiks ...."

"Lo di mana? Gue jemput lo sekarang."   

Aria kembali menangis sejadinya sampai Damar tak bisa mendengar posisi Aria. Gadis itu mencoba menghentikan tangisannya memberitahu Damar lokasinya. Duduk di halte sendirian, kedinginan, tak ada pelindung, Aria masih sempatnya memikirkan orang lain bukan dirinya sendiri.

Tubuhnya menggigil hebat, giginya bergemeletuk keras hingga tak ada suara lain yang Aria dengar selain suara hujan juga suara giginya yang saling bertumbukkan. Di lubuk hati paling dalamnya, ia berharap setiap mobil yang lewat ada mobil seseorang yang akan menjemputnya. Bukan Damar yang ia maksud melainkan pria yang meninggalkannya tanpa menoleh ke belakang menunggunya.

Cukup lama Aria duduk sendirian. Damar dan Amada, pacarnya, keluar dari mobil menyusul Aria yang setengah sadar. Damar segera menyampirkan jaketnya pada tubuh Aria yang basah kuyup.

"Lo nggak apa-apa, Ar?" tanya Manda khawatir. Damar menggendong Aria sebentar untuk membantunya masuk ke dalam mobil.

"Maaf ganggu kencan kalian berdua."   

Amanda mengeringkan rambut Aria dengan jaket kardigannya. "Nggak usah mikiran kita dulu, istirahat aja." Damar berdecak melihat kondisi sahabatnya itu. Untunglah tak ada orang jahat yang memanfaatkan kondisi lemah Aria tadi. Jika saja ia terlambat sedetik ....

"Gue nggak mau maksa buat lo cerita, tapi jangan buat kita khawatir seperti ini, Aria."

Aria hanya mengangguk, matanya terpejam mendorong rasa untuk tidak menangis. Damar melihat itu melalui pantulan cermin spion tengah. Amanda menghapus jejak air mata Aria.

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang