Tidak membutuhkan banyak waktu untuk menunggu Aria untuk wisuda. Dia termasuk mahasiswa gelombang akhir disidang pada periode wisuda terdekat.
Ternyata mempersiapkan wisuda juga cukup merepotkan. Mulai merevisi beberapa salah ketik di naskah juga merapikan layout. Setelah itu mengurus berkas ini-itu juga membutuhkan waktu serta tenaga.
Aria membenamkan diri di atas tempat tidur miliknya. Sudah dua hari dia tidak bisa mengunjungi Annalise, kata kedua orang tuanya kondisi Annalise semakin stabil dan akan segera terbangun kembali tapi perasaan Aria sedikit tidak enak.
Terakhir kali ia berkunjung, Annalise bahkan pingsan di kamar mandi membuatnya bed rest total. Dua minggu ini juga kakaknya itu sudah tidak lagi keluar kamar menghirup udara segar. Biasanya sesekali Aria ataupun Mahesa menemani Annalise berkeliling taman rumah sakit dengan kursi roda sekadar memberikan udara segar.
Tubuhnya terasa remuk berkeliaran di kota Jakarta yang panas. Kampus-rumah-rumah sakit begitu terus sampai kini rasanya dia sudah tidak ada tenaga lagi. Matanya mulai tertutup saat dinginnya udara dari pendingin ruangan menerpa punggungnya yang berkeringat. Sebuah dering yang sangat Aria kenali membuat matanya terbuka seketika. Nama Annalise tertera di layar.
Tanpa menunggu nyawanya kembali dengan sempurna, Aria segera mengangkat panggilan tersebut.
"Kakak sudah bangun?" tanyanya tanpa mengucapkan salam.
"Aria, ini papa. Iya, kakakmu sudah sadar, kamu ke sini sekarang bisa?"
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aria mengenakan kembali jaket denim yang digunakannya dari kampus tadi. "Iya, Pa. Aku ke rumah sakit sekarang." Mengambil kunci motor yang dibuangnya begitu saja. Aria pun melupakan tidurnya yang bahkan belum genap lima menit. Kepalanya sedikit pusing dengan mata yang terasa berat. Di depan rumah ia mencuci mukanya dengan air keran agar lebih segar. Dengan demikian pun Aria kembali melewati panas dan ramai jalanan Jakarta.
Setelah memarkirkan motornya, Aria segera berlari menuju ruang inap kakaknya. Ia terkejut saat melihat Mahesa juga yang tengah berlari di lobi. "Kenapa? Ada apa?" tanyanya bingung melihat Mahesa melesat cepat. Tak ingin terjadi apapun pada Annalise, Aria pun ikut berlari tak mempedulikan teguran dari satpam.
Di depan ruang inap Annalise, Aria melihat mamanya yang tengah berbicara dengan seorang perawat. Hanya saling bertatap Aria pun segera masuk mendapati Annalise tengah berdiri dekat jendela. "Kalian kenapa harus lari-larian sih?" tanya Annalise yang berjalan sendiri ke arah tempat tidur. Aria maupun Mahesa terdiam melihat kondisi Annalise yang terlihat sangat segar.
"Ka-kakak?"
"Kaget ya? Tadi pagi kakak bangun badan rasanya segar banget, terus kayak ada tenaga lebih buat berdiri sendiri."
Mahesa pun bingung, dia harusnya merasa senang bukan? tapi kenapa perasaannya tidak enak? Instingnya bilang bahwa ada badai di depan mereka. "Mumpung kakak sedang fit banget, ajak jalan-jalan keluar dong."
"Jangan dulu, Kak, istirahat yang banyak dulu ya?" pinta Aria. Annalise hanya mendesah panjang, dia memiliki banyak tenaga hari ini. Langit juga terlihat bersih dengan sinar matahari yang benderang terang. Hari yang indah untuk merasakan tiupan angin laut di wajahnya.
Annalise melihat raut khawatir Aria dan Mahesa. Tanpa mengatakan apapun Annalise memilih berbaring mengangkat selimutnya hingga dahu kemudian menutup matanya. Dia sakit, tidak memiliki privilege untuk merasakan itu semua. Banyak orang yang khawatir akan dirinya, tidak sepantasnya ia memaksakan diri.
Mahesa bisa merasakan antusias dan wajah ceria Annalise tadi mulai memudar. "Ann, ada apa? Aku sama Aria selalu ada untuk kamu. Kami semua peduli akan kondisi tubuhmu. Kami ingin kamu segera sembuh lalu kita semua bisa berjalan-jalan bersama lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Call It Fate, Call It Karma (Complete)
RomancePemenang Wattys 2021 kategori New Adult [Cerita ini akan tersedia gratis pada 17 April 2023] Di hari bahagia sang kakak, Aria yang masih berstatus mahasiswa semester akhir justru harus menggantikan posisi Annalise sebagai pengantin saat kakaknya kab...