BAB 22: Pillowtalk

53.2K 5.8K 124
                                    

Mahesa mengetuk pintu kamar milik Aria. Setelah mencuci piring, ia menghampiri mama juga istrinya. Mahesa hanya mendesah saat lagi-lagi harus melihat Aria menangis di pelukan mamanya. Didekatinya kedua wanita beda generasi tersebut. Mahesa menempatkan diri di belakang punggung Aria.

"Ma, aku bawa Aria ke kamar, ya? Biar dia istirahat dulu. Ini hari yang melelahkan buat Aria."

"Iya, kamu benar. Aria sayang, udahan nangisnya, ya. Kamu butuh banyak istirahat."

Aria mengangguk melepaskan pelukannya dari mama mertuanya. Mahesa mengelus rambut istrinya bersamaan dengan sang mama yang juga mengusap wajah Aria, menghapus sisa air matanya.

"Ma, aku sama Aria istirahat dulu, ya," izin Mahesa yang mendapatkan anggukan dari mamanya.

Aria duduk di ujung kasur luas milik Mahesa. Sebelum masuk ke kamar tadi, Aria menyempatkan diri untuk membasuh wajah, tangan serta kakinya. Mahesa ikut duduk di sampingnya.

"Aku cengeng banget, ya, Mas?" tanya gadis itu sumbang. Suaranya serak karena banyak menangis sebelumbya. Mahesa berinisiatif memberikan Aria minum dari gelas yang sudah tersedia di nakasnya.

"Wajar, namanya juga manusia. Justru kalau kamu enggak nangis, Mas justru takut."

Sebuah dengkusan geli lolos dari bibirnya. Mahesa pun ikut tersenyum. Pria itu jadi khawatir, kalau Aria serapuh ini bagaimana bisa dia meninggalkannya nanti saat ada dinas ke luar kota atau ke luar negeri?

Ah, sial! Mahesa membuka ponselnya lalu melihat jadwalnya hingga satu bulan ke depan. Ternyata tiga minggu lagi dia harus ke Singapura sebagai dosen tamu selama seminggu. Mahesa melirik Aria yang mencoba berbaring di atas ranjangnya.

Saat dirasa Aria mulai masuk ke alam mimpinya. Mahesa segera membersihkan diri dan berganti pakaian yang lebih santai. Saat ia melewati Aria yang akhirnya tenang, Mahesa kembali memikirkan agendanya yang akan datang.

Apakah dia harus membawa Aria juga? Kalau lihat Aria seperti ini. Mahesa justru tidak bisa fokus kerja nantinya. Kondisi keluarga istrinya yang penuh intrik tidak baik buat Aria yang harus fokus menyelesaikan studinya. Sekalipun ada Damar,tetap saja Mahesa tidak akan bisa tenang nantinya.

"Aria?" panggil Mahesa pelan dengan telunjuknya yang mengetuk lembut dahi istrinya.

Merasa lucu dengan cara Mahesa membangunkannya, Aria terkekeh kecil. "Iya, Mas?" jawabnya setengah sadar.

"Kamu punya passport?"

Aria memaksakan matanya untuk terbuka menatap Mahesa dengan bingung. Dia curiga kenapa tiba-tiba suaminya itu menanyakan passport? "Punya, tapi enggak pernah aku pake. Masih di rumah lama. Kenapa memangnya, Mas?"

Mahesa membenarkan letak poni istrinya. "Aku kasih waktu tiga minggu buat selesaiin bab 3 dan 4 dulu. Kalau dalam tiga minggu kamu bisa nyelesaiin tantangan itu. Kita bakal jalan-jalan ke Singapura satu minggu."

Cepat-cepat Aria bangun dari rebahanya. Tangannya mencengkram lengan Mahesa erat. Kantuknya seketika hilang tak berbekas. "Ka-kamu serius, Mas?" tanyanya sekali lagi memastikan kalau Mahesa serius dengan ucapannya.

Anggukan Mahesa membuat Aria menjerit senang. Melupakan kesedihannya beberapa saat yang lalu. Mahesa cepat membungkam mulut istrinya agar menurunkan suaranya sedikit karena ada mamanya di kamar sebelah.

"Dalam rangka apa? Kok tiba-tiba?"

Mahesa membaringkan tubuhnya kemudian membawa Aria untuk ikut berbaring di bantal yang sama. Gadis itu merasakan kebahagiannya kembali. Menikmati kehangatan yang suaminya tawarkan, Aria sedikit menyenderkan kepalanya di pundak Mahesa.

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang