BAB 43: Puzzle

38.7K 3.3K 35
                                    

Aria melihat ponselnya bergetar tanda ada pesan masuk. Ternyata dari Asahi. Ia melepaskan pisau dari tangannya kemudian mengambil ponselnya untuk membaca pesan singkat tersebut.

Dari: Asahi

Kenapa bingkisannya dikembalikan? Kan ini khusus untuk kamu. Atau kamu sudah dapat hadiah yang lebih baik? Bagaimana kalau kita ketemuan saja? 

Aria menghela napas memutar matanya jengah. Sudah sangat jelas pertemuannya dengan Mahesa malam itu adalah hasil otak licik dari Asahi. Sudah ia duga bahwa Asahi bukanlah sekedar turis Jepang yang menghabiskan waktu dengan bermain-main. 

Untuk: Asahi

Tapi kamu nggak bilang apa-apa malam itu. Boleh, datang saja ke tempat kerjaku besok malam.

Aria pun mengirimkan alamat restoran tempatnya berkerja. Setelah dikonfirmasi oleh Asahi, gadis itu kembali memotong brokoli serta wortel yang sudah dikupas. Setelah memastikan air sudah mendidih ia memasukkan wortel terlebih dahulu kemudian baru brokoli. Di satu kompor yang lain minyak mulai panas dengan lihai Aria memasukkan ayam yang sudah diberi bumbu. Ia tidak lagi menjaga jarak dirinya dengan kompor seperti pertama kali ia belajar memasak dulu.

Tepat bersamaan dengan pintu rumah yang terbuka masakan yang dibuat oleh Aria telah siap dihidangkan. Ia melepaskan apronnya dan menyambut kedua orang tuanya. 

"Bagaimana? Deal?" tanya Aria setelah menyapa keduanya.

"Sudah deal. Tinggal urus perpindahan nama saja ke notaris."

Sebuah rencana yang sempat tertunda kini akan Bima juga Indira dapatkan kembali. Keduanya telah membeli sebuah rumah kecil di daerah Kuta Lombok. Aria menyetujui rencana tersebut. Di usia keduanya yang tak muda lagi sudah waktunya buat mama papanya untuk menikmati hari pensiun mereka. Bima sendiri tidak memperpanjang kontraknya sebagai direktur tahun depan. 

Aria pikir dengan begini, keduanya bisa melepaskan penat dunia. Keduanya telah lelah tenaga dan emosi sudah waktunya untuk hidup dengan laju yang lebih lambat. Ia juga sudah bisa menghidupi diri sendiri. Aria sudah dewasa dan sudah bisa bertanggung jawab atas diri sendiri. Rumah mereka yang sekarang tetap akan ditempati Aria. Juga bisa digunakan suatu saat jika Aria ingin berkeluarga. 

Terlalu banyak kenangan indah untuk dilepas pikir Aria jika mereka harus menjualnya. Taman bunga yang ia persiapkan untuk Annalise bebebrapa tahun yang lalu masih terawat dengan indah. Ia tidak ingin membiarkan mereka layu karena bunga-bunga mawar itu adalah saksi bahwa Annalise pernah bahagia bersama mereka.

"Tapi kamu beneran baik-baik saja sendirian?" tanya Bima menerima sepiring nasi yang Indira ambilkan.

"Iya, Aria. Kalau hari kamu berniat bergabung sama kami, mama akan carikan restoran untuk kamu berkerja di Lombok nanti. Atau mungkin kita buka warung aja kali, Pa?" imbuh Indira membuat Aria tertawa.

"Jangan, dong, Ma. Kan di sana kalian harus hidup santai tanpa mikirin kerja lagi. Lagi pula aku sudah terbiasa mandiri sekarang. Hidup di Surabaya dan di Jakarta nggak ada bedanya kok. Udah bisa cari uang sendiri juga."

"Tapi beneran kamu nggak apa-apa?"

Aria meletakkan piringnya kemudian meraih tangan Bima. Dalam genggamannya itu Aria memastikan bahwa ia bisa menjaga dirinya baik-baik. Sentuhan erat itu meyakinkan Bima bahwa putrinya telah dewasa. Ia membalik telapak tangannya untuk membalas genggaman Aria.

"Jangan sungkan untuk minta bantuan papa sama mama, ya? Entah itu urusan finansial atau apapun."

"I will, Pa. You are my last resort.

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang