BAB 31: Di Depan Persimpangan

35K 4.5K 360
                                    

Teman-teman, jangan lupa vote dan komennya yaaa

*

Kakinya terpaku di tanah, berharap kepada Sang Pencipta untuk membuat sebuah lubang besar dan menenggelamkannya saat ini juga. Semua rencananya seketika terbuang siang-siang. Tak pernah Aria bayangkan bahwa kemungkinan Mahesa berdiri beberapa meter di depannya dengan wajah marah dan kecewa.

Lidahnya kelu melihat tangan pria itu terulur membuka pintu. Ingin berteriak memanggil Mahesa pun rasanya percuma. Hatinya terasa sakit saat sosok tubuh itu masuk ke ruangan yang bahkan dirinya saja tak berani menginjakaan kakinya. Aria melihat Mahesa dengan pasrah. Kakinya terasa lemas seketika dan tubuhnya pun luruh ke lantai. nafasnya terasa sesak dengan mata yang memanas.

Mahesa tak memperdulikan wajah terkejut sang pemilik ruangan. Tidak ada rona kemerahan yang seperti ia ingat dulu. Bibir indah yang kerap menggodanya terlihat kering dengan kulit bibir yang mulai terkelupas. Tulang pipi yang tinggi kini terlihat cekung seperti tak ada nutrisi yang diberikan untuk gadis di depannya. Ah, mahesa masih ingat bagaimana binar mata terang itu menggetarkan jiwanya. Melihat Annalise seperti ini membuat Mahesa merasa menjadi pria terbrengsek di dunia.

Annlise menunduk malu. Dia tidak ingin Mahesa melihatnya dalam kondisi seperti ini. Tangannya memegangi kepanya yang terlilit tudung. Jarinya bergetar mengingat dirinya beberapa bulan yang lalu. Saat rasanya dunia milikmu dan menjadi wanita beruntung bisa menikahi pria yang mencintaimu. Keputusannya meninggalkan Mahesa tak ayal karena Annalise tidak ingin merepotkan pria itu. Jika dia tetap menjalankan janji suci antara mereka, maka itu artinya sama saja Annalise egois mengikat Mahesa untuk menderita bersamanya. Dan Annalise tidak menginginkan itu. Mahesa layak mendapatkan kebahagian yang lebih.

Sunyi di antara mereka terpecahkan akibat tangisan pelan Annalise. Mahesa ikut terpukul melihat Annalise, wanita yang pernah ia cintai, menangis tanpa suara. Annalise memukul jantungnya yang terasa sakit sampai sepasang tangan melingkupi tubuhnya yang kurus.

"Kenapa, Annalise? Kenapa?" tanya Mahesa yang memeluk erat tubuh tak berdaya tersebut. Annalise masih tergugu memegang tangan Mahesa tak kalah erat. Mahesa juga mulai menitihkan air matanya. Bagi sebagian orang melihat seorang pria menangis adalah menunjukkan sifat lemah tapi orang tuanya mendidik Mahesa untuk menjadi manusia, bukan robot tanpa perasaan.

Kata maaf tak pernah berhenti Annalise ungkapkan. Setiap malam ia mengarang kalimat permintaan maaf untuk Mahesa suatu hari nanti. Dia sadar waktunya tak banyak, walaupun kedua orang tua juga tenaga kesehatan bilang bahwa keajaiban itu ada tapi Annalise sadar diri. Dirinya tak layak untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan itu. Hatinya hancur setiap malam memimpikan hari-hari indah bersama Mahesa. Tapi kenyataannya dia hanyalah tubuh yang menunggu untuk dikuburkan.

Mahesa duduk di samping Annalise, ia mendorong perlahan tubuh rapuh itu. Jemarinya menghapus air mata Annalise yang membasahi wajah pucatnya. "Annalise, aku sudah di sini sekarang. Katakan padaku, apakah ini alasanmu meninggalkanku di hari pernikahan kita?"

Annalise mengistirahatkan kepalanya pada pundak Mahesa. "Aku enggak mau membebani suamiku dengan semua ini. Aku ga punya hati melihat kamu menderita karena aku. Aku tahu kamu, Mahesa. Kamu akan selalu bersamaku, kamu akan mengurusku dengan ikhlas, aku sangat tahu itu ... but you deserves better than this." 

Akhirnya setelah mengumpulkan kembali keberaniannya, Annalise meluapkan semua resah juga gundahnya. Mahesa masih setia memeluk kepala Annalise yang bersandar di pundaknya. Didengarkannya dengan seksama semua alasan yang ia cari selama ini. Tak sekali pun Mahesa menyela ucapan Annalise memberi kesempatan agar kusutnya tali takdir mereka bisa diluruskan kembali.

Call It Fate, Call It Karma (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang