Bab 05 || Jogja dan Eksistensi Cinta

2.9K 368 15
                                    

Memilih melangkah atau menyerah adalah kemubahan saat hati memutuskan mencintai dalam balutan rasa yang terpendam.


Bersama kedua orang tuanya serta Mariyah--sahabat Kafa dan Kafi yang tinggal di sanggar miliknya--mereka tiba di kamar apartemen lantai sepuluh. Di salah satu sudut kota Jogja. Jarak dari apartemen menuju sekolah sekitar 5 KM dan menurut Rafa jarak tersebut sudah lumayan dekat. Di dalam kamar tipe 2BR yang didominasi warna biru terdapat dua kamar tidur, layar led 32 inci, dapur dan kamar mandi yang dibatasi kaca.

"Kamu suka kamarnya, Fi?" tanya Rafa sembari terus memperhatikan setiap sudut kamarnya. Ayah dua anak itu jadi ingat desain di kamar Kafi. Anime One Piece dengan rak buku yang tertempel sangat disukai Kafi.

"Ya, aku suka." Kafi menjawab seadanya. Kalaupun ia tak suka, barangkali besok bisa pindah. Hari ini remaja itu hanya ingin beristirahat dari lelahnya perjalanan yang panjang.

"Fi, papa mau antar Kafa ke ma'had dulu. Nanti malam papa dan mama nginep di sini," ucap Rafa.

"Mama juga? Bukannya mama lagi jaga kandungan? Mama di sini aja," ucap Kafi.

"Ya udah Mama di sini aja, biar papa yang antar aku dan Mariyah." Kafa yang tadi duduk di sofa langsung bangkit. Ia memang harus cepat sampai di asrama sebelum magrib nanti atau memilih untuk diberi surat peringatan dari Gus Adam.

Kafa menyelami pucuk tangan mamanya. Kamila tersenyum. "Hati-hati sayang, jaga diri di sana." Wanita itu berucap lembut.

Kafa tersenyum. Ia mengecup pipi Kamila singkat, sebelum akhirnya mereka keluar menuju lantai dasar.

Setiap ke pesantren, Mariyah selalu bersama mereka. Mariyah tak memiliki orang tua.

🍬🍬

Suasana pesantren Nadwatul Ummah masih sepi oleh kedatangan para santri yang baru tiba ke pesantren untuk kembali menuntut ilmu di sini. Selaku ketua ma'had, Kafa memang ditugaskan untuk datang dua hari lebih cepat dari santri lainnya. Dan sepertinya Mariyah sudah ke asrama untuk menaruh ransel.

Beberapa pengurus pun barangkali sudah tiba, terlihat dari beberapa kendaraan yang terparkir di halaman komplek Zaid bin Tsabit. Pesantren ini terbagi menjadi 13 komplek khusus putra dan 7 komplek khusus putri. Serta ada satu komplek lain untuk mahasiswa.

Kafa ditempatkan pada komplek pusat An-Nadwah dengan beberapa pengurus lain. Masing-masing komplek memiliki ketua, dan para ketua itu diketuai oleh Kafa. Menjadi ketua pusat bukanlah hal mudah, ia harus menjadi cermin untuk semua santri dan mengurus semua problematika yang kerapkali datang dari beberapa komplek.

Di tempat yang syahdu ini, Kafa selalu mengingat betapa banyak tinta yang telah tertulis merealisasikan Kun Fayakun-Nya Tuhan yang tak pernah melesat. Betapa di sini ia pernah mendapati kisah haru dan pilu yang sekarang membuat hati kian kelabu. Di sini ada pertemuan lama yang berakhir dengan luka. Ada perpisahan yang berakhir dengan ketidakjelasan.

"Kafa, Mariyah udah ke asrama?" tanya Rafa setelah duduk di teras masjid sebelah anaknya.

"Sudah, Pah."

"Ada sesuatu yang mau Kafa omongin sama papa," ujar remaja berambut sedikit pirang itu.

Rafa menoleh. "Ada apa, Fa?"

"Coba pikirkan kembali tentang Kafi, Pah. Bukannya dia punya astraphobia. Mustahil rasanya biarin dia ketakutan sendiri saat mendengar suara petir. Papa yang punya phobia tentunya mengerti bagaimana perasaan Kafi, menurut Kafa membiarkan dia tinggal sendirian bukan hal tepat." Remaja itu khawatir terhadap ketakutan Kafi yang kerapkali hadir saat petir menggelegar kencang.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang