Bab 38 || Perpisahan Sekolah

1.3K 245 79
                                    

Dan perpisahan adalah sebuah pelatihan membentang jarak pada kerinduan.

-- 4 Bulan Kemudian --

"Socrates said true knowledge exists in knowing that you know nothing, That's what led me to be on this stage, realizing that there was still much that I didn't know." Kilatan-kilatan cahaya dari kamera yang berasal dari kameramen sesungguhnya menganggu kefokusan remaja delapan belas tahun itu sejak awal. Namun, untung saja dia dapat mengontrol isi sambutannya dengan baik.

"And to all my friends, all the happenings we had and experienced at this school, happiness, sadness, anger and bliss will always remind us to this beloved school. After graduation, and i wish we all always be encouraged to stay determined in studying to reach for the goals.

"So welcome me as the representative of the students in this beloved school farewell event. Hopefully someday we can achieve goals by continuing the spirit." Laki-laki bersetelan kemeja hitam itu kemudian turun dari panggung, dan kembali duduk di kursi paling depan saat tepuk tangan masih memenuhi ruang aula. Selain kali ini dia berhasil mendapat juara Umum karena meraih nilai sempurna, dia tak mengerti kenapa dirinya dipinta untuk menjadi perwakilan siswa ketika seharusnya ada yang lebih pantas melakukan itu. Misal, mereka yang benar-benar telah mengalami suka duka selama tiga tahun.

Dia memegang dua piala yang didapat dari juara umum dan nilai terbesar ujian Nasional yang diberikan khusus sekolah untuknya. Juga, dia memegang beberapa piagam penghargaan dan berhasil menyabet medali emas karena prestasinya. Namun, sepi. Dia tak mendapati kebanggan sedikit pun kecuali masuknya kabar di Surel miliknya beberapa hari lalu dari Milan University yang mengabarkannya, bahwa dia mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari mereka.

Kafi yang ambisius itu tak akan melewatkan kesempatan ini sekali pun. Siang malam yang digunakannya untuk belajar dan sesekali merindukan Hilya, akhirnya terbayar dengan kabar yang menyenangkan.

Milan, sebentar lagi.

🕊️🕊️

Kafi mendapat beberapa bunga dari adik kelasnya yang ia terima untuk mencoba menghargai. Di luar aula, dia mencari Kafa dan orang tuanya yang entah ke mana. Bahkan ketika tadi melakukan sambutan, Kafi hanya mendapati sosok Rafael dan Kamila yang duduk tersenyum bangga ke arahnya, di tempat khusus tamu. Sedangkan dia tak mencari Kafa karena sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Nathnaell," seru seseorang.

Kafi menoleh, dia mendapati Rafa, Kamila dan Kafa yang sedang berdiri di koridor aula. Mereka tak tampak karena beberapa orang tua/wali serta para siswa berlalu lalang di sana.

Segera Kafi berjalan ke arah mereka.

"Terima kasih sudah berjuang sampai di sini. Proud of you." Rafael menepuk pundak anaknya.

"Mama bangga sama kalian. Terima kasih udah mau bertahan." Wanita yang dua bulan lalu setelah melahirkan itu tersenyum haru. Sejak awal Kamila tak diizinkan Rafa untuk ikut, tetapi dia memaksa demi menatap kedua putranya yang luar biasa.

"Ini semua untuk kalian. Aku tak pernah bangga dengan diriku sendiri." Kafi menyerahkan piala dan piagam pada pria yang sudah memegang piala dan piagam milik Kafa juga. Dia mencium pipi ayahnya singkat, lalu tersenyum kecil. Setelahnya dia memeluk Kamila cukup lama. "Terima kasih." Diciumnya pipi kamila. "Aku sayang sama sama mama," lanjut Kafi.

"Mama juga sayang kalian." Kamila memegang pipi Kafi, kemudian Kafa. Mereka yang tengah berproses menjadi dewasa.

Entah apa selain bangga yang Rafael dan Kamila rasakan saat ini, ketika dia menyaksikan bahwa kedua putra yang dibanggakannya telah tumbuh menjadi manusia yang berguna. Walau setiap sesuatu pasti memiliki kekurangan dan salah satunya pada Kafi yang hingga sekarang, mereka masih terus berdoa agar dia dapat membuka hati untuk memeluk agama yang haq.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang