Sebab ketika Dia memberi peringatan, Dia pula yang memberi jalan keluar.
Azan magrib berkumandang ketika mentari telah terbenam dan senja mulai hilang. Remaja berpeci hitam yang sudah duduk di deret kedua, sebelah kanan itu menjawab sahutan-sahutan muazin dari salah satu teman yang mengumandangkan seruan. Di barisan depan, para asatiz telah berbaris rapi tuk menunaikan tiga rakaat maghrib.Di belakang Kafa, berderet para santri yang duduk takzim di dalam masjid hingga penuh sampai teras. Semuanya memakai koko atau kemeja putih dan sarung khusus salat. Pakaian salat dan aktivitas sehari-hari biasanya dipisah untuk mengurangi khawatir karena kotor. Begitulah mereka ketika harus berhati-hati dalam hal beribadah menghadap Allah yang mana indera manusia tak dapat menyentuh-Nya, yang bukti maujud-Nya adalah melalui ciptaan-Nya. Dia yang maha mendengar tetapi bukan melalui suatu organ fisik, Maha Melihat tetapi tak melalui dibentangkannya kedua kelopak mata dan Maha Ada yang ke"ada"annya berbeda dengan manusia.
Ketika Kiai datang dari salah satu pintu masjid sebelah kanan, iqamat berdengung lalu mereka semua berdiri. Sang Kiai melangkah ke arah tempat imam, lalu menoleh sebentar ke belakang. "Sawwu sufufakum fainna taswiyatasufuf min tamami salah," ucapnya.
"Sami'na wa atha'na." Mereka menyahut bersamaan. Sebelum akhirnya melaksanakan magrib bersama. Saat itu senja hanya tinggal sedikit saja.
🕊️🕊️
Usai melaksanakan maghrib, zikir dan tadarus Al-Quran di masjid, Kafa langsung meninggalkan tempat. Ia hanya membaca lima lembar dari juz tujuh belas, lalu menaruh Al-Quran miliknya di dalam lemari khusus kitab yang berada di dekat pintu masjid.
Semua santri masih sibuk tadarus, sedangkan Kafa berjalan menuju rumah Gusnya untuk menghadap entah kenapa. Mungkin karena memang perihal pertemuan dengan Albania. Dia memakai sandal hitam yang berada di teras masjid paling bawah, lalu melangkah cepat menuju rumah sang Gus.
Sepanjang asrama sepi menyelimuti. Kamar-kamar terlihat kosong dari para santri karena sibuknya mereka mengaji. Sembari menunggu isya, santri putra memang lebih suka menetap di masjid daripada kembali ke asrama.
Laki-laki itu membenarkan letak peci hitam ketika dari kejauhan melihat rumah minimalis bercat hijau. Kafa menarik napas sebentar, lalu melangkah pasti menuju rumah Gus Adam.
Ketika melihat lebih dekat, seseorang bersarung hijau serta berbaju koko putih duduk di teras bersama anak kecil yang sangat Kafa kenal. Ace. Anak itu sepertinya sedang menyetorkan hafalan Qur'annya pada sang paman.
Tepat tujuh meter dari rumah, Kafa menghentikan langkah membiarkan Ace menuntaskan hafalannya terlebih dahulu. Kadang dia sangat malu, Ace yang masih kecil telah berani mengambil pekerjaan mulia menghafal kalam-Nya, sedangkan hingga sekarang Kafa masih belum mampu bertanggung jawab dan masih sulit membagi waktu ketika dipinta mempertahankan. Terkadang ketika di rumah, dia senang mendengar kedua orang tuanya murajaah. Namun setiap personal memiliki pilihan, dan dia belum mampu memilih banyak hal. Semua berproses.
"Mas Kafa!" panggil sebuah suara.
Kafa yang tadi terdiam di bawah pohon mangga langsung tersadar, dia refleks tersenyum saat melihat kedua mata Ace dan Gus Adam yang menatapnya dari kejauhan. Segera Kafa melangkah pelan menuju mereka untuk bertemu dengan seseorang yang sangat dihormatinya.
"Assalamualaikum, Gus," ucap Kafa seraya membungkukan badan.
"Waalaikumussalam, silakan duduk, Fa. Di sini aja, ya yang adem," sahut Gus Adam lembut.
Kafa mengiyakan, sebelum akhirnya dia memutuskan duduk di depan Gusnya.
"Mas Kafa nanti main bola ya sama Ace. Sama Mas Bara dan Mas Hisyam juga," ucap Ace yang duduk di sebelah Kafa. Kedua mata beloknya menatap Kafa intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Espiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...