Bab 32 || Sebuah Kepedulian

1.5K 257 72
                                    

Tak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kau mampu berbuat baik pada semua orang, mereka tak bertanya apa agamamu.

—KH Abdurrahman Wahid

Bahkan dalam dunia yang singkat ini dia berpikir bahwa setelah berakhir tak pernah ada apa pun lagi. Tak ada kehidupan kedua yang kerapkali dipercayai. Lalu sebuah pertanyaan dari dulu yang selalu mengganjal, bila surga memang ada, apakah ia hanya ditempati oleh satu agama saja? Bagaimana dengan mereka yang telah berusaha menjadi baik tetapi tak memeluk suatu agama tersebut?

"Pah, bila Tuhan sengaja menciptakan banyak perbedaan, apakah adil bila surga dihalalkan hanya untuk satu golongan?" tanya Kafi pada lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Rafael yang hendak mengeringkan rambut dengan handuk menatap anaknya yang duduk di sofa. "Mau tahu jawabannya?"

Buru-buru Kafi bangkit. "Ah, nanti aja. Aku berangkat sekarang, ya. Papa bisa ke sekolah agak siangan atau kapan pun. Aku berangkat."

"Hati-hati."

Kafi melirik singkat arloji di pergelangan tangan. Tepat pukul 05.45. Sedang dia sudah rapi mengenakan seragam kemeja putih terlapis rompi biru bergaris hitam, dan setelan celana yang senada dengan rompi.

Dia menyabet dasi dan dimasukan ke ransel, lalu keluar apartemen setelah semalam menitipkan Cleo pada penitipan hewan. Sengaja Kafi berangkat pagi sekali karena dia ingin berkeliling Jogja sebentar. Menikmati udara pagi, melihat kokohnya gunung merapi yang berdiri tinggi.

Dia berdiri di depan lift yang masih tertutup. Ditekannya tombol kotak berlambang segitiga yang mengarah ke bawah hingga tak lama dari itu pintu terbuka dan dia masuk ke dalamnya. Lantas di sebelah kanan, terdapat banyak tombol. Dia kembali menekan tombol tutup pintu dan selanjutnya menekan tombol salah satu angka yang menunjuk pada lantai dasar. Lantas Kafi terdiam sembari merasakan benda kotak yang mulai menurun itu.

Selang beberapa detik, akhirnya pintu terbuka dan dia langsung keluar menuju parkiran untuk mengambil motor merahnya.

Beberapa kendaraan berderet di sana. Kafi memakai helm, lalu mulai menaiki kendara roda dua itu sebelum akhirnya mesin dinyalakan dan dia mulai menjauhi gedung tinggi itu. Udara masih terasa segar, karena para pengendara masih belum benar-benar memadati jalanan di sini.

Kaca helmnya dibiarkan terbuka memberi kesempatan pada angin untuk membelai wajahnya. Barangkali Kafi mulai terbiasa hidup di sini. Karena dia sendiri mulai mengerti bahwa seberapa kerasnya meronta untuk kembali, semua tak akan pernah berbalik. Ada seseorang yang memintanya untuk tetap tinggal dan bagaimana mungkin dia menolak dan membantah.

Seketika, pandangannya tertuju pada seorang lelaki tua berpakaian lusuh yang tengah duduk di bawah pelataran masjid dengan pandangan kosong. Wajahnya terlihat sayu. Rambutnya telah beruban. Di sebelahnya terlihat sebuah karung putih yang diduga adalah botol-botol rongsokan yang habis dikumpulkan.

Kafi membelokan motornya ke arah ruko yang tak jauh dari sana. Dia parkir di depan ruko, meletakan helm di atas jok lalu berjalan ke dalam ruko membeli beberapa makanan ringan, minuman dan roti. Sejak pagi dia juga belum sarapan.

Setelah membayar dan menitipkan motor pada pemilik ruko, dia langsung berjalan ke arah masjid dan duduk di sebelah laki-laki tua itu.

"Bapak udah makan?" tanya Kafi.

"Belum, Nak. Sejak kemarin bapak belum nemuin bos buat jual rongsokan ini." Dia tetap menampilkan senyumnya.

"Saya juga belum sarapan. Saya punya roti, Pak. Ayo kita makan." Kafi mengeluarkan dua bungkus roti berisi cokelat dan disodorkannya pada lelaki tua itu.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang