Bab 24 || Sebuah Dalil

1.8K 266 45
                                    

Jika umat manusia punya hari raya untuk bersuka cita, maka pertemuan denganmu adalah hari rayaku. (Unknown)


Di bawah tenda yang terbentang luas di tengah lapangan asrama putra Ali Bin Abi Thalib, para santri mendengar dengan seksama ceramah dari sang pengasuh, Gus Yusuf Al-Fatih yang baru Kafa ketahui wajahnya dengan jelas hari ini. Laki-laki yang mengenakan sarung maroon serta berjas almamater hitam itu duduk di baris ketiga, belakang para asatiz yang ikut serta berada di sana.

Sesekali sepoi angin menggerakkan rambut Kafa yang tak tertutup peci putih. Di belakang sana terdapat banyak santri Ali yang menjadi bagian dari pusatnya acara tersebut.

Setelah tiga jam menghadiri acara pembuka, semua santri beristirahat. Dan kali ini Kafa harus menemui Gus Adam sebelum berangkat ke rumahnya. Semalam Gus Adam memberi izin pada santrinya itu untuk mengantar surat dari kepsek ke rumahnya.

"Saya bersama sepupu saya, boleh, Gus?" tanya Kafa, berharap Gus di depannya mengiyakan.

"Asy'as? Nggak papa. Tapi ingat peraturan, ya."

"Nggeh Gus, matur suwun."

Sejujurnya sejak pagi sekali Kafa belum sekalipun bertemu laki-laki bermata sipit itu. Bahkan Asyas tak berada di barisan Umar Bin Khattab saat mendengar pembuka dari Gus Yusuf tadi. Ke mana anak itu.

Setelah mendapatkan kunci mobil, dia berjalan ke arah kantor berharap Asyas ada di sana walaupun kemungkinannya sangat kecil. Asrama yang lumayan luas berhasil membuat Kafa separuh bingung. Namun bagaimana pun dia harus mengajak Asyas. Harus.

"Al!" panggil Kafa setelah mendapati laki-laki berpeci hitam serta berjas almamater, yang baru saja memasuki gerbang pesantren bersama kedua temannya yang Kafa kenal. Namanya Hilmi dan Bian. Namun tak perlu dibahas, karena eksistensi mereka saat ini tidak begitu dibutuhkan.

"Lo di sini? Astaga nggak ada bosen-bosennya jadi perwakilan Nadwah," komentar Asyas setengah terkejut. Kedua remaja itu bersalaman, lalu tersenyum.

Kafa tertawa. "Nggak usah ngeledek. Lo juga tiap dua tahun sekali jadi perwakilan. Eh temenin gue, Al. Gue mau anter surat dari Kepsek buat papa."

"Surat apaan?"

"Si Kafi. Biasa baru berapa hari udah keluar masuk BK."

"Tumben si Einstein kena masalah," desis Asyas. Sepupu Kafa itu memang sangat jarang memanggil Kafi dengan sebutan asli. Bahkan selama hidup 17 tahun, rasanya bisa dihitung kapan saja Asyas memanggil Kafi dengan nama aslinya. Setiap bertemu, dia selalu memanggil Kafi dengan sebutan Einstein karena IQ anak itu yang tinggi.

🐾🐾

Di tengah perjalanan menuju rumah menggunakan mobil salah satu ustaznya, Kafa sebenarnya masih memikirkan tentang Albania. Dia belum diberi kesempatan untuk menemui perempuan itu. Seolah-olah dia tengah membaca buku The Orange Girl milik Jostein Gaarder, lalu dipaksa menutup halaman saat seseorang bernama George hampir mengetahui tentang siapa sebenarnya Gadis Jeruk yang diceritakan pada surat dari masa lalu itu. Menyebalkan. Bahkan sebenarnya mereka berada di bawah gedung yang sama, lalu mengapa begitu sulit sekadar hanya menghilangkan rasa rindu yang mendera tiada henti.

Laki-laki berambut sedikit pirang itu hanya memfokuskan pandangan pada jalanan di depan. Kembali, ia harus berbaur dengan polusi Jakarta yang tak disukai.

"Al, cewek lo gimana?" tanya Kafa pada Asyas yang tengah fokus membaca buku tipis milik Cak Nun yang berjudul "Orang Maiyah" sesungguhnya Kafa hanya mencoba mengalihkan fokusnya dari Albania. Otaknya butuh istirahat.

"Ngapain nanya?"

"Belum ada ganti, ya?"

"Seseorang deketin gue, Fa. Cewek. Namanya Madinah. Sebenarnya gue belum nyaman, sih. Cuma gue lagi usaha aja barangkali gue bisa lupain masa lalu."

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang