Bab 39 || Haflatul Ikhtitam

1.4K 246 94
                                    

Yang lebih menyedihkan dari sekadar melakukan sambutan adalah perpisahan dengan para Murabbi yang mengagumkan. 

Di tengah lapangan pusat An-Nadwah, telah duduk rapi para wali santri di bawah tenda maroon berpadu gold, hendak menyaksikan pelepasan buah hatinya. Kursi-kursi depan diisi oleh Para Kiai, Kapolsek, Kades, wakil Kemenag dan para guru memenuhi dua baris kursi paling depan. Di seberang mereka, panggung besar berdiri gagah. "Haflatul Ikhtitam Angkatan 22 Nadwatul Ummah (Granada)" tertulis tegas di layar panggung, di bawahnya terdapat sebuah tanggal dan tempat. Jogja tentu saja.

Angkatan Granada yang berjumlah sekitar 2744 santri, telah memenuhi kursi yang disediakan khusus santri putra di sebelah kanan panggung, sedangkan santri putri di sebelah kiri. Para santri menggunakan dresscode yang sama. Untuk santri putra sendiri mereka tampak menggunakan sarung merah batik bercampur aksara Jawa berpadu kemeja putih berlapis jas hitam milik angkatan Granada, juga peci hitam yang menutupi rambut mereka. Sedangkan santri putri mengenakan abaya merah maroon, berpadu jilbab mustard yang manis. Di leher mereka, melingkar sebuah kalung dari susunan bunga melati khas kelulusan.

Kafa yang ditugaskan menjadi perwakilan santri untuk menyampaikan sambutan, duduk di depan sementara. Karena sesungguhnya dia mendapat kursi di tengah, sesuai dengan abjad yang dimulai dari huruf A. Ya, jujur saja kumpulan Ahmad dan Abdul memenuhi deret kursi dari 1-3.

Dalam hening ketika MC dari XI MA mulai membuka acara perpisahan ini, Kafa mulai mencari keberadaan orang tuanya. Dan ternyata dia dengan cepat menangkap sosok laki-laki berambut pirang berpakaian kemeja putih bergaris hitam, serta wanita berabaya putih, duduk di kursi deret keempat, tersenyum ke arahnya. Di sebelah mereka, Kafi tampak menemani dengan ekspresi wajah yang mulai bosan.

Selang beberapa menit, Gus Adam naik ke panggung selaku pengasuh Nadwah untuk melakukan penyambutan. Beliau mengucapkan terima kasih dan beberapa sambutan hangat yang tak membosankan. Kemudian acara terus berganti hingga kini tiba pada sambutan terakhir.

"Untuk sambutan terakhir yang akan disampaikan oleh perwakilan santri, kepada akhina Kafa Narelle Stewart dipersilakan." MC menyebut namanya.

Setelah mengucap bismillah Kafa bangkit. Sebelumnya, dia membungkukan badan ke arah para Kiai dan asatiz, lalu berjalan tegak menaiki tangga menuju atas panggung. Di depan stand mic dia menatap tamu undangan yang ternyata lebih dari padat. Laki-laki itu menarik napas, berusaha tenang lalu mengucapkan sebuah kata pembuka dengan tegas.

"Pada kesempatan kali ini izinkan saya menyampaikan sepatah dua kata sebagai perwakilan santri. Yang mana kami berterima kasih sebesar-besarnya pada Abah Kiai Usman serta Gus Adam selaku pengasuh Nadwatul Ummah, kepada Ustaz Marzuqi selaku ketua yayasan, dan juga kepada seluruh asatiz serta ustazah yang telah mendidik kami penuh kesabaran." Kafa berusaha tetap tersenyum di balik rasa ingin menangis meninggalkan pesantren ini.

"Saya mengingat maqalah dari Salafuna salih yang mengatakan, lawla murabbi maa araftu rabbi. Kalaulah tanpa seorang murabbi, aku tak mengenal Tuhanku.

"Betapa sesungguhnya kami merasakan bahwa pengorbanan para guru begitu mulia dalam mengantarkan kami dan menunjukkan kami jalan yang sebelumnya tak kami ketahui, jalan yang sebelumnya kami buta, jalan yang sebelumnya kami tak mengerti, hingga akhirnya kau beri cahaya pada kami saat kami benar-benar berada pada gelapnya ilmu pengetahuan.

"Engkau mendidik kami tanpa bosan, engkau bantu kami dalam kesulitan, engkau tempat kami bertanya dan engkau mengajari kami tanpa pamrih sedikit pun. Engkau bimbing kami selama enam tahun lamanya tanpa menuntut kami tentang jasa-jasa. Engkau mengayomi kami, engkau mengajarkan banyak hal dan kebenaran pada kami." Kedua mata Kafa mulai terasa panas. Seperti ada ombak yang memaksa menerobos keluar.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang