Bab 25 || Kata

1.7K 255 28
                                    

Wahai Dzat Maha Cinta yang telah menciptakan Musa dan Isa, berikanku banyak derita bila ia menjadi pengingat paling baka.

Hawa dingin dari air conditioner membuat laki-laki 17 tahun itu semakin betah berada di bawah selimut putihnya yang tebal. Di sampingnya, kucing kesayangan yang memiliki hobi tidur pun membaringkan tubuh gembulnya bersama Kafi di atas kasur yang sama. Sesekali dia memeluk Cleo penuh sayang. Sekarang tanggal merah, dia tak perlu repot-repot bangun pagi untuk sekolah. Ada pun pukul sembilan nanti dia akan ke tempat gym.

Lagu What i've done terdengar lirih dari ponsel yang berada di nakas. Laki-laki itu mengerjapkan mata, berusaha terbangun dan mengumpulkan nyawa. Siapa yang mengganggu ketenangannya. Kafi mencoba meraih benda pipih berwarna hitam itu dan dia nyaris terlonjak saat melihat nama 'Mama' yang berada di layar ponselnya.

"Ma," sapa Kafi yang masih terbaring di atas kasur. Suaranya masih terdengar tidak jelas, dan dia hanya berharap bahwa Mamanya cukup paham.

"Fi, baru bangun?"

"Iya." Kafi mengambil Cleo lalu memeluknya.

"Gimana kabarnya, sayang?"

"Baik, Ma."

"Papa ke Jogja tiga hari lagi."

"Ketemu Kepsek, ya? Kenapa nggak besok? Besok sekolahnya masuk lagi. Kafa lagi di Jakarta."

"Kami lagi di Aussie. Alexa menikah. Iya, mama tahu Kafa lagi jadi perwakilan."

Kafi terdiam.

"Fi, dengarkan mama ya, Mama nggak tahu Kafi melanggar apa. Mama hanya meminta agar kamu di sana baik-baik aja. Entah kenapa akhir-akhir ini perasaan mama nggak enak. Mama selalu mikirin kalian. Tentang apa pun jangan pernah menyembunyikan semuanya dari kami."

"Eng-- semuanya baik-baik aja, Ma. Nggak usah mikirin aku. Aku udah mulai terbiasa di sini."

"Ya udah mama tutup ponselnya. Jangan lupa sarapan dan jaga kesehatan. Mama sayang Kafi."

"Iya, Ma. Kafi juga."

Sambungan terputus. Laki-laki itu meletakan ponselnya di atas kasur dengan asal. "Cleo, makan dulu yuk. Kamu tidur terus." Kafi bangkit, kemudian menggendong kucing berbulu lebat itu, menaruhnya di atas meja makan yang berada di dapur yang tak terlalu luas. Dia berjalan ke arah lemari panjang yang tertempel di dinding, tepat atas kompor, membuka pintunya dan mengambil makanan milik Cleo.

Setelah Cleo kenyang nanti, untuk mengisi pagi yang sepi dia akan mencoba memainkan kembali kanvasnya yang masih tertumpuk kosong. Seseorang yang menjadi kiblat bahagianya kini barangkali cukup menjadi sebuah alasan bagi Kafi untuk tak membuang waktunya dengan sia-sia.

Dia mengambil piring kecil milik Cleo, menumpahkan makanannya di sana dan membiarkan Cleo menikmatinya.

Suara bel berdenting nyaring memenuhi ruangan. Laki-laki itu menautkan kedua alis tebalnya. Dia mencium Cleo lalu berjalan ke arah pintu untuk memastikan kedatangan. Sebenarnya dia sudah menduga bahwa di luar sana Reza dan kedua temannya yang sesungguhnya tak pernah Kafi inginkan kehadirannya. Barangkali dia harus mengatakan sekali lagi, baginya eksistensi seorang teman tak begitu menjadi sesuatu yang esensial. Dia hanya merasakan bahwa temannya yang di Aussie dan di sini begitu sangat berbeda. Entah sesuatu hal apa yang mempengaruhi, dia tak mengerti.

"Halo Bro!" sapa laki-laki berkemeja hitam yang sudah berdiri di depan pintu. Aldo. Di sebelahnya Milan tentu saja.

"Reza mana?" tanya Kafi. Dia membiarkan mereka berdua masuk. Lebih baik tak ada Reza. Di antara mereka bertiga, Kafi memang tak begitu menyukai anak yang selalu menjadi incaran BK itu.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang