Di antara banyaknya pertemuan, aku hanya tak mau dipertemukan dengan sesuatu bernama perpisahan yang menyulitkan.
Barangkali sudah sepuluh menit laki-laki ber-hoodie putih bertuliskan "Made In The Image of God" itu duduk di bangku kayu yang berderet manis disepanjang jalan Malioboro.
Kedua kakinya yang terbalut celana jeans hitam dan sepatu sneakers putih, sesekali dientak-entakkan menunggu tiga orang teman yang berjanji akan bertemu di sini. Langit malam kota Jogja terlihat begitu cerah. Bulan dan gemintang hadir menemani para pendatang yang tengah menikmati syahdu Malioboro.
Banyak pemuda-pemudi yang saling bergandengan tangan dan Kafi hanya berusaha menahan kesal saat tiga troublemaker itu tak muncul, setelah dia rela mengorbankan waktu melukisnya hanya untuk mengiyakan kemauan mereka yang ingin menghabiskan malam di jalan cinta.
Earphone yang terpasang di telinga masih mengalunkan lagu Insomnia milik Zayn Malik yang telah diputarnya tiga kali tanpa bosan. Dan sesekali dibukanya sosial media untuk membaca zaman yang tak lagi mengasyikan.
Sesekali angin malam menampar wajahnya dengan lembut. Bahkan pada sesuatu yang tak terlihat pun, seakan dia bernyawa dan berbisik bahwa Jogja adalah tanah para pencinta.
"Kafi," panggil seseorang.
Sayup-sayup dia mendengar suara panggilan. Segera Kafi mengangkat kepala dan terkejut ketika melihat pasangan muda yang bergandengan tangan di depannya.
Dia melepas earphone dan berusaha tersenyum pada laki-laki berusia sekitar 22 tahun, berambut gondrong yang lekuk wajahnya masih tersimpan di memori. Laki-laki itu memiliki tinggi sekitar 173 sentimeter, kulit putih dan kedua mata tajam yang mengingatkannya pada seseorang. Ya, kedua mata itu sama persis seperti milik Hilya.
"Ah, Kak Nabil," sapa Kafi. Dia masih ingat waktu beberapa hari lalu ikut ayahnya menghadiri pernikahan mereka. Sejujurnya Kafi tak mengenal putra Kiai itu, dan selain bersikap sok Asyik, Kafi hanya berusaha untuk tak membuat kecewa pemuda itu dengan pertemuan ini.
Persetan dengan ayahnya yang meminta dia untuk memanggil anak-anak Kiai dengan sebutan Gus, tetapi sungguh Kafi tak terbiasa dengan sebutan yang masih terdengar aneh di telinga. Dia hanya berusaha meyakini bahwa laki-laki di depannya tak akan marah bila dipanggil kakak.
"Kamu di sini nunggu siapa?" Laki-laki itu memegang pundak Kafi.
"Saya lagi nunggu teman, Kak. Kak Nabil sendiri lagi jalan-jalan ya sama istrinya?" Sumpah demi apa pun sesungguhnya Kafi ingin menghilang saja. Dia terasa gugup saat berhadapan dengan calon kakak iparnya. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa.
"Ya saya masih harus beberapa hari lagi di sini. Ternyata istri saya nggak mau langsung pulang ke Jakarta," jawabnya.
"Sekolahnya lancar?" tanyanya lagi. Entahlah bagaimana cara menjelaskan bahwa suara dia itu lembut sekali.
"Eh-- iya kak."
"Saya denger kamu juara satu, ya. Mau lanjut di mana?"
"Milan. Ya, sayang ingin melanjutkan kuliah ke sana."
"Semoga sukses ya, Fi. Saya nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini." Gus Nabil tersenyum.
"Sekarang saya tahu kenapa adik saya suka sama kamu. Jaga diri, ya. Saya pergi dulu." Laki-laki itu menepuk pundak Kafi pelan, lalu kembali pergi.
Kafi tersenyum, lalu kedua matanya tak sekalipun melepaskan sepasang suami istri yang masih terlihat bergandengan di tengah ramainya Malioboro. Dia menahan napas untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali duduk dan meloloskannya kemudian. Pertemuan dengan mereka begitu sangat mendadak dan Kafi masih tak percaya bahwa akhirnya dia berbincang sebentar dengan Gus Nabil. Sekali pun dia tak pernah segugup ini dengan orang lain. Namun, ketika berhadapan dengan laki-laki itu seperti ada batas yang sejujurnya sulit diungkapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Spiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...