Maka, setiap akhir dari sebuah perjalanan adalah pulang. Entah pulang dengan membawa kekecewaan atau pulang merayakan kembali sebuah permulaan.
Angin malam menembus jaket birunya yang lumayan tebal, rasa dingin malam ini semakin terasa ketika kepergian Hilya berhasil menghancurkan alam imajinasinya. Dia terlalu delusional untuk mengharapkan sebuah pertemuan, dan seharusnya memang sadar untuk tak pernah mengambil risiko karena nyatanya semesta terlalu kejam memainkan perasaan dua anak manusia yang mengenaskan.Di antara bunyi langkah kakinya yang berjalan entah ke mana, dia hanya ingin melupakan musik mengerikan yang selalu berulang membosankan, tetapi nyatanya waktu terlalu egois dengan membiarkannya ditimbun ketidakadilan.
Kafi berjalan menelusuri jalan setapak yang kian sepi dan berusaha yakin bahwa gadis yang dilihatnya tadi berjalan ke sini. Semakin yakin bahwa sesungguhnya tempat ini lumayan tertutup dari sekitar, terbukti bahwa kini semakin sepi. Gelap seakan menyelimuti perjalanannya tetapi dia harus memastikan tentang gadis tadi.
Hingga beberapa menit kemudian, dia menemukan sebuah sungai yang alirannya deras. Di sana terdapat pembatas besi berwarna kuning. Semakin yakin bahwa taman tadi hanya akses menuju sungai ini.
Dari kejauhan, seorang gadis berambut sebahu duduk di kursi tepat depan pembatas besi itu. Kafi tersenyum singkat, lalu berjalan pelan tak ingin membuat konsentrasi gadis itu buyar. Rambut sebahunya tampak berkibar karena angin malam.
Semakin dekat dia berjalan, wajah gadis itu semakin jelas. Dan hal yang paling menarik, dia tengah membaca buku Perempuan di Titik Nol milik Nawal El-Saadawi di bawah cahaya lampu kuning. Yang Kafi tahu, buku itu ditulis oleh wanita feminis Mesir yang berprofesi sebagai dokter. Di dalamnya menceritakan kisah hidup Firdaus, menguak tentang banyak ketidakadilan yang didapat para perempuan.
Gadis itu tengah menyedot susu cokelat di tangannya, Kafi lantas mendekat dan langsung mengambil alih susu kotak itu lalu menyedotnya sedikit setelah memutuskan duduk di sampingnya.
Perempuan itu tampak terkejut dengan kehadiran Kafi yang tiba-tiba. Dia seakan tak mampu berkata-kata hingga Kafi menoleh ke arahnya setelah membuang susu kotak yang telah habis diminumnya. "Albania TI-RA-NA" Dia menekan perkataanya. Lalu tersenyum kecil.
"Ka-Kafi? Kamu ngapain ke sini?" Gadis itu tampaknya masih sangat kaget.
"Jilbab lo mana?"
Albania tak menjawab, lalu tiba-tiba tertawa kecil. "Aku hijrah ke jalan yang lebih buruk. Pakai jilbab itu membosankan, gerah juga."
"Abis ninggalin Kafa lo jadi kayak gini? Jangan terlihat lemah karena laki-laki, nanti dia ngerendahin lo." Kafi lantas melepas jaket dan memakaikannya pada Albania yang hanya menggunakan kaus biru tua pendek. "Jangan dilepas, nanti lo sakit kena angin malam."
"Dan jawab pertanyaan gue kenapa lo jadi alumnus pesantren yang gagal?" tanyanya tanpa dosa.
"Gagal? Nggak juga. Aku cuma bosan dengan semuanya. Keluarga berantakan, Papa pergi, Kafa juga. Apakah Tuhan meninggalkan aku? Lucu sekali." Gadis itu tertawa nyaring, "aku diciptakan hanya untuk ditinggalkan orang-orang. Hidup ini nggak adil kan, Fi?" Dia menengadahkan kepalanya. Kafi tahu bahwa suara Albania yang bergetar tadi tengah menahan sesak hidupnya.
Mereka memang tak pernah melakukan perbincangan panjang sebelumnya. Mereka lebih banyak tidak tahu satu sama lain, tetapi ada yang berbeda dengan pertemuan ini. Pertemuan malam ini yang sebelumnya tak pernah mereka duga. "Tapi lo nggak bisa melarikan diri dari permasalahan, kan? Lo harus kembali ke rumah, Na."
Albania menggeleng, "Kadang setiap malam aku ke sini. Dulu papa sering menggendongku jalan sore di tepi sungai ini. Aku hanya senang nostalgia dengan pria bajingan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Espiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...