Hingga akhirnya, Tuhan memberi kita pakaian yang digunakan untuk merayakan sebuah agenda bernama perpisahan.
Happy reading ^^
Spanduk Nadwah yang terletak di depan rumah ndalem terlihat menjulang tinggi bila diperhatikan dari teras rumah Gus Adam.Hilya, perempuan bersarung batik orange serta berkaus putih dan jilbab senada dengan kerudung itu, menunggu kepulangan Gus Adam sembari mengulang selembar Al-Quran yang akan disetornya sore ini.
Biasanya dia dapat menyetor tiga halaman dan murajaah dua juz, tetapi semenjak pulang sekolah dia tak bisa benar-benar fokus terhadap ayat-ayat yang diulangnya.
"Ning, Kafi sakit kayaknya. Dia pucet banget."
Kafa memberitahukan itu ketika dia baru saja hendak menaiki Trans Jogja. Diam-diam Hilya memang sering memperhatikan Kafi tetapi tidak dengan wajahnya. Dia suka saat Kafi melakukan presentasi di depan, menyanggah jawaban teman, membenarkan jawaban yang keliru, menulis jawaban di papan tulis, baginya ada candu tersendiri. Namun demikian, Kafi terlihat baik-baik saja saat mereka sempat berbincang ketika Kafa futsal.
"Kayaknya Gus Adam pulang sore. Dia lagi ngisi pengajian di desa sebelah dan setelahnya langsung ke rumah belakang mimpin Yasinan. Mau Ammah simakin?" Seseorang duduk di sebelah Hilya.
Gadis itu menoleh. Dia mendapati istri Gus Adam yang memakai gamis cokelat muda serta kerudung hitam di sana.
"Eeh-- iya nggak papa, Ammah. Tapi aku belum terlalu lancar." Hilya memberikan mushafnya pada wanita penghafal Quran itu.
"Santai aja." Rifa tersenyum.
Hilya mulai membaca kalimat taawudz, basmalah, kemudian mulai mengulang ayat-ayat yang telah dihafalnya dengan berusaha tetap fokus menghadirkan Allah, yang mencintainya.
Hingga hari ini kalau bukan karena Dzat Maha Bisa yang telah menciptakan-Nya, mungkin dia tak mampu bertahan walau sebentar saja, andai bukan karena Dzat Maha tak terbatas yang melindunginya, mungkin ia telah kehilangan kompas kehidupan sejak dulu kala, dan andai bukan karena Dzat Maha Cinta yang setia mencintainya, mungkin ia tak menjadi manusia yang memilih jalan di bawah bendera kasihnya.
Dia hanya perlu yakin ketika Tuhan menciptakan dirinya, Tuhan juga menciptakan kebaikan, kebahagiaan serta kesedihan yang mengikutsertakan. Sejatinya, Allah lah tempat kembali, tempat pulang dan tempat bersandar paling aman dan tak pernah mengecewakan.
Beberapa saat kemudian, dia sampai pada ayat terakhir yang dihafalnya. "Maa asabaka min hasananatin' faminallahi wa maa asabaka min sayyiatin' faminnafsik. Wa arsalnaaka linnasi rasulaa. Wa kafaa billahi syahida, shadaqallahul 'adzim." Hilya mengusapkan kedua tangannya di wajah.
"Setor murajaah-nya nanti aja ya, Mah. Aku baru murajaah juz depan," kata Hilya ketika Rifa memberikan Al-Quran padanya.
Gadis itu mengambil, lalu mendekap mushafnya di dada.
"Iya nggak apa." Rifa tersenyum.
"Ehm Hilya, ammah mau tanya boleh?"
Hilya mengangguk cepat.
"Keputusanmu untuk lanjut diniyah di sini, apakah sebenernya nggak membuat hati kamu semakin sesak?" tanya Rifa pelan, takut-takut kalau dia salah bicara.
Hilya terdiam, dia memandang pelataran rumah ndalem yang tak terlalu luas. Sore seperti ini para santri masih sibuk ngaji sehingga area pesantren sepi kecuali sayup-sayup lalaran dari belakang gedung sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Spirituale*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...