Namun ... namun kesalahannya kami terlalu fokus berharap, hingga Tuhan mematahkan sayap-sayap.
Bismillah dulu, baca pelan-pelan.
Setelah memasukkan semua barang-barang ke dalam koper, Kafi meletakkan kotak itu di dekat lemari. Setidaknya dia mempersiapkan semua dari sekarang untuk kepergian lusa nanti. Sekarang pukul 19.30. Setelah beberapa buku milik Nietzsche sang pengagum Muhammad itu ditumpuk di atas meja untuk dibawanya nanti, dia bergegas mengambil jaket dan kunci mobil yang berada di atas nakas.
Langkahnya mulai meninggalkan kamar hendak mencari angin malam di atas tanah Jakarta. Di ruang tamu tampak ramai oleh keluarga Kamila dan keluarga Rafa berkumpul untuk melepaskan Kafi lusa. Tetapi yang hendak dilepaskan bahkan tak peduli.
"Aku pergi," pamitnya berusaha terdengar santun.
"Udah malem mau ke mana, Fi?" tanya Ghiffari, sang paman.
Rafael bangkit. Dia berdiri di depan putranya, sangat dekat. "Mau ke mana? Nggak enakan mereka lagi kumpul," bisik Rafa.
"Bentar. Janji." Pemuda berkaus hitam bertuliskan "Tuhan agama-Mu apa?" itu berusaha meyakinkan ayahnya.
"Ke mana? Bar?"
Kafi menggeleng cepat. "Nggak."
Rafa menarik Kafi sedikit menjauh. "Papa nggak mau kamu mabuk lagi kayak kemarin. Lakukan sekali lagi, papa nggak akan bukain pintu untukmu dan kartu debitmu papa blokir," ancamnya.
"Yap. Nggak akan. Cuma sekali kemarin khilaf."
"Apa yang ada di totebag itu? Kemarikan, papa lihat." Rafa mengulurkan tangannya.
"Bukan apa-apa, aku mau main." Dia menjauh.
Rafa langsung menarik totebag yang Kafi cangklong hingga terlepas. Kafi mengembuskan napas kasar. Sang ayah memandangnya tajam saat melihat botol whiskey di dalamnya. "Pukul sembilan harus udah pulang. Ponselnya jangan dimatikan."
Dia mencium pipi ayahnya singkat. "Thanks." Lalu pergi.
"Fi, ke kafe aja yuk. Mumpung lagi kumpul," ajak Asyas, sepupu Kafi. Anak pertama Ghiffari.
"Kalian berdua aja, gue sibuk," sahutnya. Kedua matanya memandang Kafa sinis.
"Sibuk ngapain sih, Bro?"
"Sibuk cari agama biar setara kayak kalian."
Laki-laki itu lantas keluar. Dia memakai jaket birunya, lalu berjalan mendekati mobil sport merah dan menaikinya kemudian. Kafi tahu malam ini, seseorang akan mengakhiri segalanya.Jakarta membuat hatinya benar-benar kelabu.
Di bawah lampu jalanan, dia mengendarai mobil menuju taman tempat yang telah dijanjikan. Bila bukan malam minggu, taman itu sepi tetapi tak sesepi hatinya juga. Masih ada beberapa pasangan yang menghabiskan waktunya di sana. Biasanya keluarga kecil pun turut serta berkumpul melakukan piknik kecil-kecilan.
Selang beberapa menit kemudian, Kafi memarkirkan mobilnya di deretan beberapa motor yang terparkir di sana juga. Sebelum masuk area taman, dia memesan dua cup kopi dan membawanya masuk ke dalam.
Ternyata benar dugaannya bahwa di sana sepi. Namun, Kafi cukup cepat menyadari bahwa perempuan berjilbab biru muda duduk di salah satu kursi kayu sendirian.
"Udah nungguin lama? Maaf aku telat." Kafi menyodorkan satu cup kopi pada Hilya.
Perempuan itu mengangkat kepala. Dia tersenyum ragu dan menanggapi kopi tersebut. Rindu. Sesungguhnya Hilya ingin mengungkapkan segalanya. Dia rindu laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Espiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...