Di antara banyaknya perjalanan yang kutempuh, hanya perjalanan di Hadramaut bersamamu yang tak bisa kulupakan.
Sepertinya sudah sekitar seminggu Kafa kembali ke Jogja. Kembali lagi di pesantren ini. Laki-laki yang baru saja keluar dari kamar mandi itu membawa serta ember hijau berisi pakaian yang telah dicuci. Sudah pukul 20.30. Barangkali ia masih memiliki waktu untuk main UNO di kamar lalu tidur kemudian. Ah, jangan tanyakan mengapa malam-malam seperti ini Kafa baru saja menyelesaikan cuciannya. Dari pagi hingga sore dia sama sekali tak memiliki waktu luang, dan setelah isya tadi Ustaz Arif meliburkan ngaji Fathul Baari-nya sehingga dia dan beberapa teman lain bisa mencuri waktu untuk mencuci seember pakaian kotornya."Cak, dipanggil Gus Adam," ucap Hisyam, salah satu teman pengurusnya.
"Hah? Di mana? Sekarang?" Kafa terkejut. Dia langsung menaruh ember di bawah jemuran yang berada di sebelah kiri kamar mandi. Nanti dia akan menjemurnya usai isya.
"Iya. Tapi, Cak, Gus Adam bawa notebook-nya njenengan yang warna cokelat muda," bisik Hisyam.
"Asli? Astaga gimana Syam. Bukan punya saya tapi--"
"Saya juga kaget, Gan. Udah sana cepet, Cak. Di masjid pusat An-Nadwah."
Kafa langsung pergi meninggalkan remaja berkaus putih polos itu. Dia, Kafa langsung melangkahkan kakinya menuju masjid. Bahkan ia sepertinya lupa masih memakai kaus pendek dan sarung hijau dengan rambut kecokelatan yang masih acak-acakan. Kerapkali Kafa tak memedulikan apa pun saat asatiz sudah memanggil namanya. Dan ini bukan asatiz lagi. Namun, Gus. Dia harus cepat-cepat menghadap atau nanti merasa bersalah karena membiarkan Adam menunggu lama.
Namun jelas ada yang menggenjal saat ini. Tentang notebook cokelat muda itu. Tentang beberapa kata yang tertulis di sana. Dia cemas bagaimana bila Gus Adam membaca tulisan seseorang di masa lalunya?
Sungguh, sampai sekarang Kafa tak paham tentang kejadian setahun lalu. Gadis itu mengucap kata perpisahan setelah ia mengumandangkan kerinduan dari lamanya jarak yang terbentang.
Di antara banyaknya pilihan, Kafa tak pernah tahu kenapa Allah harus memilihkan gadis itu sebagai masa lalu yang tak bisa dilupa. Sebagai luka yang tak dapat disembuhkan. Kalau boleh jujur, Kafa ingin kembali menuju masa lampau dan ia akan mencegah banyaknya kemungkinan yang akan terjadi.
Namun, sampai saat ini pun ia telah bersyukur. Perlahan ia dapat melupa meski tak benar-benar hilang dalam ingatan, tetapi ketika sosok lain telah mencoba mengisi, Kafa malah harus pergi karena ia sadar diri bahwa dia bukan seseorang yang diinginkan.
Apa kamu tahu, di matamu aku melihat semua isi semesta dan aku tak lagi berminat memandang apa pun selain surga yang berada di sana. Batin Kafa.
Tak lama dari itu, Kafa melihat pria paruh baya yang sedang duduk di teras masjid sembari memegang mushaf cokelat menghadap danau di depan sana yang terhampar luas.
Kafa menghampiri Gus Adam sembari mengucap salam. Setelah Gus Adam menyuruh Kafa duduk, laki-laki berusia nyaris tujuh belas tahun itu langsung duduk di teras yang berada sedikit lebih rendah dari yang Gus Adam duduki.
"Fa, gimana sekolahmu?" Gus Adam membuka percakapan.
"Alhamdulillah baik, Gus," sahut Kafa lembut. Remaja itu menunduk. Dia berusaha bersikap sopan di depan seseorang yang sangat dihormatinya.
"Tentang perjalananmu?" tanya Adam lagi.
Kening Kafa beekerut. Jujur, ia tak paham dengan apa yang ditanyakan sang guru padanya. "Ngapunten nggeh, maksud Gus Adam bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Espiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...