Banyak suara yang menyeru untuk meninggalkan, dan aku mencari satu suara yang meminta untuk tetap bertahan.
—Hilyatul Aulia
"Sebelumnya terima kasih untuk kedatangan Pak Rafael ke sini. Saya sebagai Kepala sekolah yang selalu mengharapkan kebaikan serta ketertiban untuk para siswa, sangat menyangkan tindakan Kafi yang sering terlibat kerusuhan semenjak dia datang ke sini." Di dalam ruangan didominasi putih berukuran sekitar 8X10, ayah dua anak itu mendengar tuturan Kepsek dengan takzim."Sebenarnya saya tahu bahwa dia sepertinya bukan anak yang suka keributan, tapi sudah dua kali dalam seminggu dia ikut balap motor entah apa motivasinya. Kedua, dia juga sempat bertengkar dan nyaris berkelahi dengan murid dari SMA sebelah. Dan setelah saya selidiki, ternyata dia musuh dari teman anak Bapak yang bernama Reza. Dan untuk mengurangi ini semua saya meminta pada Bapak untuk memberi nasihat padanya agar menjauhi Reza dan kawan-kawannya sementara waktu." Pria berkumis tebal serta berseragam cokelat muda itu menatap Rafael dalam, memohon. Kedua tangannya masih tetap tertekuk di atas meja.
"Kafi itu semenjak kedatangannya sudah berhasil menarik perhatian para guru karena kritis dan cekatan dalam hal menanggapi pelajaran apa pun kecuali Bahasa Arab. Maaf sebelumnya saya kira Kafi memang seperti Kafa yang bahasa Arabnya tak pernah salah meski sekali pun. Dan setelah saya membaca kembali profil tidak resmi milik kelas IPA, ternyata dia mencoret bagian agamanya." Kepsek tertawa kecil.
Rafael tersenyum. "Ah nggak apa kok, Pak. Dia memang nggak seperti kami dan Kafi belum bisa bahasa Arab sedikit pun. Untungnya bahasa Arab di sini nggak diwajibkan, sehingga saya bersyukur Kafi bisa memilih untuk mengikuti tambahannya atau tidak."
"Begitulah, Pak, agar mereka yang non Muslim memiliki kebebasan. Dan mungkin inilah yang harus saya sampaikan pada Bapak dan tolong kerjasamanya untuk menasihati Kafi. Saya sendiri sangat menyayangkan sikapnya yang berbanding terbalik dengan otak yang dimiliki. Andai sejak kelas sepuluh dia di sini, saya bisa menjamin bahwa dia adalah kandidat terbaik OSN yang kami miliki. Tapi dia hanya sebentar saja di sini apalagi sebentar lagi akan ada ujian dan setelahnya selesai. Perpisahan. Untuk itu saya mohon sama Bapak agar Kafi fokus pada pelajarannya saja. Memang nilainya tak merosot meski melakukan apa pun, tapi saya hanya tidak ingin membuatnya seperti ini."
"Terima kasih, Pak, untuk masukannya. Saya akan mencoba berbicara pada putra saya dan percayalah setelah saya keluar dari ruangan ini, Kafi nggak akan bertindak seperti sebelumnya." Rafael meyakinkan. Sebagai ayah dia tahu apa yang hendak dilakukan pada Kafi.
Setelah berbincang sedikit tentang beberapa hal, akhirnya Rafael dibolehkan untuk meninggalkan ruangan. Setelah berpamitan dia langsung pergi dan menemui Kafi di kursi depan kantor guru.
"Kamu sakit?" tanya Rafael mendapati wajah Kafi yang pucat. Dia kemudian duduk di sebelah putranya.
Kafi menggeleng. "Aku kenapa kata Kepsek?" Dia mengalihkan topik.
"Berteman sewajarnya, tapi jangan merugikan diri kamu sendiri. Orang yang sudah berkelahi itu nggak ada nilai kemanusiaannya, Fi. Di dalamnya nafsu. Sedangkan di keluarga dan saudara-saudara, kamu dikenal sebagai keluarga kami yang sifat menghormati sesamanya paling tinggi. Jangan mudah gegabah dan terpancing oleh kemarahan." Rafael mulai menasihati.
"Kalau jalan satu-satunya hanya jauhi, ya jauhi. Nggak papa berteman kalau akhirnya mengubah sikapmu jadi lebih baik tapi mendengar kamu ikut balap, hampir berkelahi, demi Allah papa merasa asing. Seperti bukan anak papa. Bertahanlah di sini sebentar lagi. Beberapa bulan lagi kamu terlepas dari negara ini."
Kafi tak berniat menyela atau menjawab perkataan ayahnya. Kedua mata hazel itu menatap lapangan di depan sana. Beberapa siswa entah dari kelas berapa tengah bersiap main bola dan Kafi hanya memperhatikan dengan kekosongan sembari terus mendengar suara yang mendamaikan. Di pangkuannya, dia memegang buku Zoroaster yang ditulis A.V William Jackson dan belum selesai dibaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Espiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...