Part 16 || Suaramu, Musik Favoritku.

2K 304 47
                                    

Sebab ketika kau sendiri, Tuhan memelukmu dalam sepi yang tak dapat didefinisi.

Sembari melihat jadwal tiket pesawat yang akan membawanya kembali ke Aussie tujuh hari lagi, dia Kafi dari jendela apartemen, memperhatikan jalanan Jogja yang tengah disinari cahaya matahari yang baru saja terbit. Sebelum benar-benar pergi dia harus memastikan bahwa dirinya telah mampu menahan rindu yang akan dirasakannya nanti. Baginya, tak bertemu Hilya sekali seperti tak menemui ketenangan. Hilya adalah definisi bahagia yang Kafi miliki saat ini. Bahkan ketika kata 'memiliki' masih ambigu terdengar, tetapi dia tetap mengakuinya tanpa rasa ragu sedikit pun.

Ponsel berdering lembut. Kafi melihat nama "Papa" di layar gawainya yang menyala. Digesernya tombol hijau dan menekan speaker kemudian.

"Kafi Nathnael Stewart?"

"Iya, Pah ada apa?"

"Bagaimana sekolahnya? Kapan ujian?"

"Lancar. Besok ada ujian. Eh Pah, minggu depan aku mau ke Aussie."

"Ada apa? Mendadak."

"Ambil berkas dan--"

"Dan apa?"

"Dan sekalian ambil alat-alat lukisku di rumah." Alibinya.

"Kan bisa beli baru."

"Sayang kalau cat yang di rumah nanna nggak dihabiskan. Di sana masih ada kuas dan beberapa kanvas yang baru kubeli sebelumnya. Aku kira aku akan balik lagi tapi ternyata salah."

"Sekolahnya bagaimana? Papa nggak suka kamu ambil cuti."

"Cuma seminggu. Aku janji nilaiku nggak akan merosot."

"Ya sudah. Nanti hati-hati, jaga diri."

"Iya pah. Mama lagi apa?"

"Mama ada di samping papa."

"Berduaan mulu."

"Kan udah halal jadi bebas."

"Astaga."

"Sana sekolah, Fi. Papa tutup teleponnya."

Sebenarnya ada hal lain yang Kafi sembunyikan dari Rafael mengenai kepergiannya ke Australia. Bukan hanya sekadar mengambil berkas atau alat lukis belaka karena sesungguhnya sebagian berkas-berkas penting telah disimpannya di apartemen dan alat lukis pun bisa beli baru. Melainkan ia butuh waktu untuk sendiri melepas kenyataan tentang sebuah keputusan yang didengarnya beberapa hari lalu.

Ah, untunglah Hilya kamu ke sini. Umi akan membicarakan pertunanganmu dengan Kafa.

Perih. Ada rasa kecewa yang sangat dalam dirasakan Kafi saat ini dan dia tak memiliki tempat untuk bercerita. Bahkan ketika yang dia tahu kedua orang tuanya telah merestui hubungan Kafa dengan Hilya, lalu dibawa ke mana perasaan Kafi saat ini. Belati seakan menghujam tiada henti dan dia tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyendiri dengan rumitnya persoalan hati. Ketika Hilya menangis di depannya kemarin, barangkali Kafi lebih parah dari itu. Namun ia tak mau menceritakan sesaknya pada Hilya. Biarkan dia yang menerimanya sendiri karena inilah keputusannya ketika dia telah berani jatuh cinta.

Barangkali mungkin inilah jawabannya kenapa Kafi selalu menuangkan segala rumitnya pada sebuah kanvas karena hanya lewat media itulah dia dapat menceritakan segalanya. Kafi tidak seperti Kafa yang mudah terbuka pada ayahnya, dia kerapkali lebih suka menyimpannya sendiri karena tak paham bahasa seperti apa yang pantas diutarakan.

Laki-laki itu mematikan ponsel, lantas segera pergi meninggalkan apartemen untuk cepat-cepat berangkat ke sekolah menghadapi ujian yang masih akan berlangsung seminggu ke depan.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang