Bab 02 || Double K

4.9K 492 70
                                    

Ada yang paling sulit dijelaskan, salah satunya ketika berharap pada ketidakmungkinan.


Suasana sepertiga malam yang syahdu berhasil membangunkan Kafa dari tidur nyenyaknya. Cowok berambut hitam gondrong sebahu itu mengerjap saat jarum jam tepat menujuk ke angka 02.30. Setelah duduk sebentar, ia langsung berjalan ke arah kamar mandi hendak membersihkan tubuhnya dan berwudhu. Setelahnya ia langsung mengenakan sarung merah maroon yang dilengkapi koko putih serta peci hitam ciri khasnya.

Usai melaksanakan beberapa rakaat salat malam, ia keluar kamar menuruni tangga menuju gazebo dekat kolam renang. Angin di luar berembus begitu syahdu. Sesekali rambutnya yang tak tertutup peci bergerak lembut. Jalanan di luar masih sangat sepi. Langit sepertiga malam di atas sana terlihat gemerlap bertabur bintang.

Ia membuka mushaf biru di tangannya. Menampilkan surah Ar-Rahman yang ingin dibaca, namun tiba-tiba fokusnya teralihkan pada hal lain. Kejadian empat bulan silam selalu saja mengusiknya tanpa jeda. Seakan-akan semesta memang senang melukainya.

Allah, apakah kesempatan itu memang telah hilang?
Jalanan di depan sunyi, aku tak mampu berjalan sendiri. Ya ilahi Rabbi tuntun aku menuju kebaikan yang Kau rencanakan. Batin Kafa.

Perempuan itu. Ah, Kafa mengusap wajahnya kasar. Bayangnya masih jelas. Allah, ingatkan aku selalu bahwa Engkau maha pencemburu. Batinnya.

🍓🍓

Tepat pukul 06.00 setelah pulang dari masjid mendengar kultum, Kafa kembali duduk di gazebo sembari menikmati udara pagi hari. Di depannya terdapat segelas kopi serta rokok dan korek sedangkan di pangkuannya terdapat kitab Tafsir Jalalain yang kembali hendak dikaji. Memahami Tafsir memang tak mudah. Tapi memahami kehendakmu yang tak pasti lebih sulit dari itu. Batinnya.

Dia menyalakan korek hendak membakar ujung batang rokok yang sudah diselipkan di antara bibir merah, tetapi kegiatannya terhenti saat sebuah suara berhasil memecahkan pagi buta dan telinga.

"Kafa!" teriak seseorang dari arah pintu keluar rumah.

Dia langsung menoleh. Pandangannya jatuh pada laki-laki berambut pirang yang mendekat ke arahnya. Rokoknya ia taruh di piring kecil yang mewadahi cangkir kopi, membatalka ritual paginya.

"Kenapa?" tanya Kafa pada Kafi.

"Kenapa? Katanya lo mau anterin ransel itu ke pemiliknya. Barangkali ransel gue ada sama dia. Minggu depan gue harus balik ke Aussie," sahut Kafi buru-buru.

"Gue cuma anterin lo. Lo harus jelasin sendiri sama pemiliknya," balas Kafa cepat.

"Iya iya... gue paham." Kafi mengambil kopi milik Kafa, lalu meneguknya hingga tandas.

"Lo mau ngerokok nggak jadi, ya." Kafi tertawa kecil, lalu kembali menaruh cangkir kosong itu di sampingnya dengan asal.

"Kasian paru-paru lo, Fa. Lagian kebanyakan cewek nggak suka cowok perokok, ntar jodoh lo gimana?"

"Jodoh gue suka gue lah. Lagian kalau di pondok gue nggak bisa sebebas ini."

"Kasian, makanya jangan mondok."

"Nggak mau ntar kayak lo."

"Cerdas kayak Einstein dong."

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang