Jangan tanyakan dalil tentang sebuah alasan mengapa harus mencintai negeri, karena sesungguhnya cinta tak membutuhkan dalil dan argumentasi.
Suasana aula asrama putri ramai dipadati beberapa angkatan Granada yang sedang bertugas membungkus beberapa hadiah untuk peserta yang memenangkan lomba nanti. Di sana pun ada Hilya yang turut membantu menggunting kertas kado dan plester.
Di dekatnya, Mariyah juga ikut serta menjadi pelengkap di antara mereka. Sebagian yang lain barangkali bertugas mendata, membungkus snack dan paling penting angkatan Granada memang sedang melaksanakan tugas masing-masing.
"Ning Hilya, lukisan yang Ning Hilya dapet seminggu yang lalu itu dari siapa? Sampe sekarang loh kita nggak tahu?" tanya salah seorang santri berjilbab biru muda yang duduk di depan Hilya. Dia sedang berusaha membungkus jilbab putih di dalam kertas kado. Bisa diketahui bahwa dia sekamar dengan Hilya dan mengetahui lukisan yang Hilya dapat dari Kafi.
Jujur, saat itu Hilya memang benar-benar terkejut mendapati kaligrafi berbentuk whirling dervish yang sedang berputar. Pada kanvas putih, khat itu berwarna hijau dan dapat dibaca Abu Abdullah Husein bin Manshur Al-Hallaj. Katanya Kafi melihat gambarnya dari web dan melukisnya kemudian. Hilya memang sangat terkejut, karena Kafi yang non muslim itu tidak mungkin bisa tahu detail deretan huruf hijaiyah.
Lalu di bawah kaligrafi itu, Kafi menuliskan tentang biodata singkat Al-Hallaj dan Hilya sangat senang saat mendapatkannya. Terlebih di balik lukisan sebesar 80X100 sentimeter itu ternyata ada gambar dirinya yang sedang membaca buku Nietzsche saat sedang di halte sekolah. Hilya memang suka membaca buku dan dia tak tahu kapan Kafi mengambil potretnya. Mengenal Kafi, ada banyak sekali kejutan yang Hilya dapatkan hingga ia merasa menjadi seseorang terpilih yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengenalnya.
"Itu dari temenku." Hilya tersenyum. Ingat sekali bahwa ketika ustazah bagian TU yang biasanya selalu di kantor asrama, tiba-tiba datang ke kamar memberikan lukisan yang baru tiba dari kurir. Benar hari itu. Hari di mana Kafi mengatakan bahwa setelah sampai di asrama ada hal lain yang Hilya dapatkan.
"Lukisannya bagus banget, Ning. Aku yakin itu pasti pelukisnya sering menang lomba kaligrafi," sambar teman lain.
"Nggak diragukan. Apa lagi detail banget. Ning kalau boleh, mukaku pengen dilukisin juga."
"Masya Allah nanti buat apa?" tanya teman di samping Hilya.
"Buat taruh di kamarku dong. Di rumah."
"Kalau aku yang dilukis sepertinya terlalu indah."
"Dan nggak ada juga yang mau lukisin."
Hilya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Dia tak pernah membenci keramaian dan dia pun tak pernah membenci kesendirian. Hilya seperti sosok ambivert di mana sifat yang mendominasinya bukan ekstrover yang pandai bergaul atau introver yang suka menyendiri. Hilya kerapkali menyendiri di tengah keramaian. Menikmati keramaian itu dengan berteman dengan pikirannya. Dia hanya akan berbicara bila benar-benar waktunya untuk berbicara. Hilya bukan sosok pendiam bukan pula sosok yang ramai.
"Ning Hilya sama temennya deket, ya? Aku pengen juga punya sahabat."
"Nggak kok biasa aja."
"Ning Hilya kan sekolah di luar, berarti tahu kembarannya Cak Kafa dong?"
Hilya terhenyak mendengar pertanyaan itu. Bukan hanya tahu, bahkan keduanya saling mencintai. Namun, dari mana mereka mengerti bahwa kembaran Kafa pun satu sekolah dengan mereka.
"Aku lihat mukanya ganteng banget, Mbak. Kemarin pas nikahan Gus Nabil, kan, dia ke sini juga."
"Yang bener? Di mana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
روحانيات*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...