Andai setiap kali merindukanmu menghasilkan rida-Nya, maka telah cukup bagiku menebus sebuah tempat bernama surga.
Angin malam masuk melalui kaca mobil yang dibiarkan terbuka. Dia, Kafa, duduk di kursi mobil belakang dengan gusar sembari terus mengingat perkataan ayahnya, bahwa sejak sore Kafi enggan mengangkat telepon darinya. Dan pihak apartemen memang mengabarkan pada Rafa bahwa Kafi sakit tetapi dia tak mengizinkan dirinya untuk dibawa ke Dokter atau pun mereka yang mendatangkan Dokter untuknya.
Kafa hanya bersyukur bahwa Kafi tinggal di ruangan kedap suara karena sejak petang hujan mengguyur Jogja dan sekarang baru saja selesai. Namun, sesekali suara halilintar masih terdengar dan Kafa harus yakin bahwa Kafi baik-baik saja di dalam kamar.
Kafa dibolehkan keluar oleh Gus Adam karena sebelumnya sang ayah menelpon meminta izin, agar malam ini Kafa tinggal di apartemen, sekaligus memastikan bahwa saudaranya baik-baik saja. Cemas. Inilah yang Kafa rasakan sekarang. Kafi sendirian, dan Cleo hanya hewan yang tak bisa melakukan apa-apa. Toh setahu Kafa sebenarnya ada aturan ketat bila membawa hewan peliharaan ke dalam apartemen. Dan entah bagaimana ceritanya Kafi bisa lolos memelihara Cleo di sana.
"Pak, bisa lebih cepet nggak?" Remaja berjas almamater itu bertanya dengan suara yang gusar.
"Ini udah cepet, Mas," sahutnya.
Kafa mengembuskan napas keras sembari terus berdoa agar Allah menjaga Kafi untuknya. Agar Allah memberikan Kafi kekuatan untuk bertahan. Kafa hanya tengah berusaha menyingkirkan pikiran buruk bila tiba-tiba Kafi pergi meninggalkan dan rasanya tak mungkin. Kafi seorang ambisius yang memiliki banyak impian untuk dicapai.
Selang beberapa menit, mobil berhenti di tepi jalan depan apartemen yang Kafi tinggali. Setelah memberi beberapa lembar rupiah, Kafa langsung keluar dan segera berjalan masuk mencari lift menuju lantai yang Kafi tinggali.
Hingga akhirnya dengan kunci cadangan yang Kafa punya, dia bisa menembus kamar Kafi dan menatap saudaranya yang bersembunyi di balik selimut. Segera Kafa mendekat lalu menyingkap selimut putih tersebut, dan mendapati Kafi yang tengah tertidur dengan wajah yang lebih pucat.
Kafa menempelkan telapak tangannya di dahi Kafi dan dia merasakan panas yang luar biasa.
"What's bring you here," lirih Kafi setelah merasakan kehadiran Kafa yang tiba-tiba.
"Gue telepon Dokter, ya. Badan lo panas banget. This situation make me weepy."
"Jangan khawatir. Besok juga mendingan."
"Kalau makin parah dan lo nggak bisa ikut ujian gimana?"
"Gue cuma mau istirahat. Bikinin surat izin buat besok." Kafi menutup kembali seluruh tubuhnya dengan selimut. "Kalau mau tidur di samping gue, jangan di sofa," lanjutnya dengan suara yang lemah.
Kafa menarik napas, mengembuskannya, lalu berjalan ke dapur hendak merebus air untuk mengompres dahi Kafi. Diambilnya panci berbahan kaca, lalu diisi air, dan ditaruh di atas kompor yang baru saja dinyalakan.
Sembari menunggu mendidih, laki-laki bersarung ungu tua itu berjalan ke arah kulkas merah maroon, lalu membuka pintunya. "Penuh banget udah kek orang jualan," gumamnya.
Pasalnya dia tak mendapati celah kosong di setiap susunan rak. Ia melihat banyak susu murni, daging ikan, buah-buahan, dan beberapa botol soda yang sangat Kafi sukai. Diambilnya susu kotak rasa cokelat yang mengingatkannya pada masa lalu. Kafa tersenyum setelah menutup kembali pintu tersebut.
Ingat, Fa. Semua udah berlalu. Batinnya menguatkan.
Dia duduk sebentar di kursi meja makan, menyedot susu hingga tandas lalu bangkit kembali mencari baskom untuk menaruh air panas. Dibukanya rak yang tergantung di atas wastafel, dan kedua matanya mendapati beberapa botol soju yang Kafi simpan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Spiritüel*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...