Bab 20 || Jangan Menyerah

1.7K 284 59
                                    

Bukan sebuah kesalahan bila kita hanya ditakdirkan untuk merindu tapi tak diberi kesempatan 'tuk menyatu.

Jarum jam menunjuk pukul 06.10. Hilya yang baru saja membubarkan diri dari pengajian, langsung bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sejujurnya bel masuk masih sangat lama, tetapi Hilya ingin bertemu seseorang. Kerapakali rindu memang tidak dapat ditahan.

"Ning, dipanggil Gus Adam," ujar seorang santri saat Hilya tengah memasukan beberapa buku dan al-quran ke ransel.

Gadis itu menoleh. "Makasih, ya." Dia menutup kembali ransel lalu segera pergi meninggalkan kamar yang sangat sepi. Tadi itu hanya ada Hilya seorang diri karena semua santri sedang melaksanakan piket masing-masing sesuai jadwal.

Dia, Hilya berjalan cepat menuju asrama pusat an-Nadwah. Sesungguhnya dia memang paling malas melewati asrama putra, karena para laki-laki di sana setiap kali ada perempuan lewat selalu saja berisik. Meski mereka menahannya bila memang Hilya yang datang, karena barangkali mereka tak akan mau su'ul adab pada keturunan Kiai.

Selang beberapa menit, gadis berseragam putih abu-abu itu sampai di depan rumah ndalem. Dia langsung masuk saat melihat pintu depan terbuka dan dilihatnya sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tamu.

Hilya menyalami tangan Gus Adam dan Ning Rifa yang tersenyum ke arahnya, sebelum akhirnya dia duduk di depan laki-laki paruh baya yang memakai sarung hijau tua dan kemeja putih itu.

"Hilya mau berangkat sekarang?" tanya Gus Adam.

"Jam masuknya masih lama, sih. Emang Ami ada apa?"

"Hilya udah empat hari nggak setor hafalan, kenapa? Lagi ada masalah?" Suara Adam terdengar lembut. Bahkan sangat lembut.

"Nanti malem aku setor."

"Hilya nggak jawab pertanyaan Ami."

"Aku baik-baik aja, Mi. Maafin Hilya." Gadis itu menunduk. Memang sepertinya ia sudah membuang banyak waktu untuk tak menyetorkan hafalannya pada Adam. Hafalan bisa terus berjalan lancar bila perasaan benar-benar dapat dikompromi, dan nahasnya akhir-akhir ini Hilya kehilangan ketenangan. Semenjak ucapan Umi beberapa minggu lalu yang menginginkannya bersama Kafa, Hilya tak lagi fokus terhadap apa pun. Hilya tak bisa bersikap bodo amat seperti kakaknya. Tentang hal-hal yang menyangkut dirinya, ia pasti akan memikirkan secara terus-terusan hingga akhir.

"Jangan terganggu karena ucapan Mbak Hanin, Hil. Fokuskan pikiran Hilya sampai khatam, jangan terbebani banyak masalah. Kalau Hilya sampai khatam, kamu anak satu-satunya abimu yang menjadi seseorang terpilih menjaga kalam Allah. Menjaga isi dari kitab paling suci. Kedua kakakmu juga pasti bangga."

"Ternyata berat, Mi."

"Jangan berkata seperti itu. Hilya, semua orang juga pasti merasakan. Ami juga. Menghafal memang sangat mudah, bahkan kalau perlu sehari setor seperempat juz-pun itu sangat mudah sekali. Tapi yang paling menyulitkan itu menjaganya. Dulu, Ami juga pernah sampai nangis karena beberapa ayat-ayat yang sudah dihafal hilang begitu saja. Terlebih Hilya tahu bahwa sebelum mutqin, ami sudah disuruh menikah. Selain menjaga hafalan, di negeri para nabi itu ammi menjaga ammah-mu. Betapa sebenarnya saat itu ammi ingin menyerah. Tapi ammi inget abi dan umi di rumah, hingga akhirnya ammi berada di titik sekarang. Di titik yang Hilya lihat."

Gadis itu meremas rok abu-abunya. Yang dia tahu kehidupan paman di depannya sangatlah mudah, tetapi lagi-lagi memang setiap dari manusia memang diciptakan untuk sebuah patah. Sungguh benar apa yang dikatakan sang paman padanya. Menjaga kalam suci itu luar biasa sulit. Saat memilih menghafal quran, maka sesungguhnya memilih mengabdikan dirinya pada Allah untuk seumur hidup. Pekerjaan yang hanya akan tehenti saat napas tak terembus lagi.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang