Bab 19 || Hari Santri

1.7K 280 73
                                    

Mencintaimu adalah caraku berterima kasih pada-Nya tentang penciptaan yang luar biasa sempurna.

Aruna terpancar manis menyinari seluruh santri yang berbaris di bawah tiang bendera menjulang tinggi. Santri putra dengan sarung, kemeja putih dan peci hitamnya kompak berderet rapi di sebelah kanan, sedangkan santri putri dengan sarung batik cokelat muda, kemeja putih dan jilbab putihnya berderet di sebelah kiri. Di tengah mereka bendera merah putih berderet memanjang dari ujung depan hingga ujung belakang yang dipegang oleh santri-santri di bawahnya. Mereka itulah santri-santri terpilih yang nanti tetap merasakan sejuk dikala santri lain kepanasan karena sinar mentari.

Tepat pukul 06.00 para asatiz dan ustazah pun ikut serta mengikuti upacara pagi ini guna memperingati hari santri. Karena seungguhnya mereka pun santri. Di dunia ini tidak ada mantan santri.

Tiga orang petugas santri putra bertugas mengibarkan bendera bersamaan dengan seluruh santri yang memberi hormat, seraya menyanyikan Indonesia Raya diiringi lagu instrumental yang terdengar keras dari pengeras suara.

Hilya yang berdiri paling depan melihat jelas siapa petugas-petugas terpilih yang mengibarkan bendera itu. Siapa lagi kalau bukan Kafa dan dua orang lainnya yang belum Hilya ketahui. Dia memang tak berminat menghafal nama-nama santri, sehingga yang diketahui hanya beberapa saja. Bahkan sampai sekarang Hilya tidak tahu siapa bagian kesehatan putri, siapa bagian perlengakapan atau bagian pengajaran. Selain bagian perpustakaan, dia terlalu bodo amat pada selainnya.

Setelah Indonesia Raya selesai dinyanyikan, selanjutnya para santri mendendangkan salawat Hubbul Wathan yang diciptakan oleh KH Wahab Hasbullah, bersama-sama.

"Ya'lal wathan... Ya'lal wathan... Ya'lal wathan. Hubbul wathan minal iman... Wala takun minal hirman... Inhadlu ala'l wathan.

"Indonesia bilaadi... Anta 'unwanul faqhama. Kullu may ya'tika yauma... Thomihay yalqa himama."

Semua santri kemudian mengibarkan bendera merah putih dan bendera salah satu Ormas Islam. Pagi ini semangat mereka seolah-olah benar-benar terbakar melihat dari wajah-wajahnya tak ada satu pun yang terlihat lemas. Suara santri putra terdengar lebih keras mendominasi salawatan pagi itu. Hari ini susana Nadwah pecah karena cinta yang dalam pada Negeri bernama Indonesia.

"Pusaka hati wahai tanah airku... cintamu dalam imanku. Jangan halangkan nasibmu... bangkitlah hai bangsaku.

"Pusaka hati wahai tanah airku... cintamu dalam imanku. Jangan halangkan nasibmu...
Bangkitlah hai bangsaku

"Indonesia negeriku... engkau panji martabatku. Siapa datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu... siapa datang mengancammu, kan binasa di bawah durimu.

Suasana seperti ini mengingatkan Kafa tentang salawat bersama. Saat berlibur di rumah dan kebetulan ada salawat bersama dengan Habib Syaikh Abdul Qadir As-Segaf, dia dan sepupunya pasti selalu hadir selama masih berada di Jabodetabek. Bagi Kafa tak masalah jaraknya berkilo-kilo meter pun, asal dia mendapat duduk paling depan dan memandang wajah sang Habib, pasti semua rasa lelah perjalanan terbayar sudah.

Biasanya yang paling menghafal jadwal salawatan adalah sepupu Kafa. Dia yang mengirim pesan dan mengajaknya kemudian.

Cinta. Itulah yang membuat mereka rela menghabiskan waktunya untuk memandang wajah seseorang dari keturunan manusia paling mulia di bumi. Cinta tak perlu bukti. Cinta tak pernah mengenal negoisasi.

🍭🍭

Setelah apel berlangsung, para santri langsung menciptakan barisan untuk melaksanakan karnaval. Hilya langsung meninggalkan lapangan dan berjalan menuju ndalem sendirian. Ia akan ke sana barang sebentar lalu ke kamar Mariyah untuk menemaninya. Bila dia ikut karnaval yang entah akan kembali lagi kapan, Mariyah akan sendirian di kamar.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang