Mungkin ... mungkin kita telah disudutkan oleh rumitnya pilihan. Tapi kita memiliki Tuhan Sang penanggungjawab kehidupan.
Beberapa petugas mulai membereskan tenda-tenda yang sempat terpakai acara haflatul ikhtitam siang tadi.
Di tengah perjalanan menuju rumah ndalem, Kafa dicegat oleh perempuan berabaya maroon di depan koperasi. "Kafa, gawat!" Hilya memasang ekspresi panik, seolah dia menyampaikan bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja.
"Ada apa?"
"Umi serius, Fa. Yang manggil kamu ke ndalem umi buat mastikan persetujuan itu," sahut Hilya.
Kafa terdiam. Ingin rasanya berbalik dan tak perlu menjawab yang akan ditanyakan keluarga nanti, tetapi dia juga berada pada pilihan yang sulit tuk diputuskan. Yang diyakini remaja 18 tahun itu perasaan bukanlah hal mudah untuk diarahkan. Kafa tak bisa menentukan jatuh pada siapa, tetapi seolah-olah semesta mengaturnya.
"Terus bagaimana?" tanyanya.
"Kenapa masih nanya kalau kamu udah tahu jawabannya?"
"Aku menolak mereka?" Sebelah alis Kafa terangkat.
Hilya mengangguk. "Kamu masih punya Albania, dan aku punya tujuan sendiri. Aku mohon, Fa."
Kafa tertawa kecut, "ternyata perpisahan kali ini bukan hanya meninggalkan ma'had, tapi juga meninggalkan kecewa di hati mereka. Okey kalau ini yang seharusnya." Dia tersenyum.
Hilya merasa bersalah tetapi dia pun tak mengerti harus bagaimana. Toh mereka diberi pilihan, lalu kenapa harus memaksa mengiyakan bila semesta memberi kesempatan untuk tak pernah menerima yang hampir diputuskan.
Hilya berjalan duluan ke arah rumah ndalem, kemudian disusul Kafa yang sedang bertengkar hebat dengan pikirannya kini. Bisakah ia katakan pada semesta bahwa sesungguhnya dia lebih berada di posisi yang menyulitkan. Bila menolak, dia membuat Kafi bahagia tetapi harus mengecewakan keluarga Hilya, dan bila dia menerima apa kabar hati Kafi yang remuk redam itu? Pantaskah Kafa masih disebut sebagai saudara ketika orang dicintai saudaranya direbut begitu saja?
Andai ada pilihan ketiga, mungkin dia akan ambil opsi tersebut tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
Kini kakinya telah menginjak ambang pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Kafa tersenyum ramah ketika mendapati keluarga ndalem yang sedang berkumpul di sana, kecuali Kiai Usman dan ibu Nyai. Keduanya tak ada di sana. Bahkan dia melihat Rafael yang sedang berbincang dengan Gus Adam di antara mereka.
Setelah mencium tangan Gus Ismail, Gus Ibrahim, Gus Adam dan sang Ayah, Kafa duduk di sebelah pria itu. Di depannya Hilya menunduk di sebelah Umi Hanin. Kafa tahu bagaimana keadaan mereka kini dan diam adalah jalan satu-satunya.
"Kafi dan mama mana? Papa dari tadi belum pulang kenapa?" tanya Kafa pelan.
"Mereka pulang duluan ke apartemen, karena mama harus istirahat. Udah, kamu dengerin dulu dan nanti putuskan sendiri. Papa juga nggak ngerti."
"Kafa, terima kasih untuk kedatangannya ke sini. Di sini mungkin Umi akan mengingatkan lagi tentang perkataan Umi lima atau enam bulan yang lalu. Berhubung Hilya ketrima di univ yang sama denganmu, bolehkah kami memintamu untuk menikah dengan Hilya? Kami hanya takut bahwa nanti Hilya tak ada yang jaga." Umi Hanin mulai membuka percakapan yang membuat perasaan Hilya semakin patah tak beraturan.
"Di sana, kan ada Mas Nabil, Mi," desis Hilya.
"Mas Nabil bentar lagi lulus."
"Bagaimana Kafa dan Hilya?" ulangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Espiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...