Barangkali kita sepasang pertemuan dengan amiin yang sama namun terhalang iman yang berbeda.
Hilya melongokan kepalanya ke dalam rumah. Di ruang keluarga terlihat keluarga ndalem telah kembali berkumpul selepas acara pernikahan yang berjalan dengan lancar. Di sana pun terdapat orang tua Kafa dan juga Kafa yang sedang bersilaturrahim.Barangkali ada banyak skenario Tuhan yang datang dengan tiba-tiba tentang segala hal yang awalnya terlihat mengecewakan. Tentang Kakak Hilya yang entah bagaimana cara Allah berkehendak, akhirnya di akhir-akhir waktu, Allah kabulkan segala harap laki-laki yang menjadikan Uminya sebagai cinta pertama itu. Hingga akhirnya hadiah dari ketaatan pada Rabb-Nya Tuhan memberikan kejutan yang tak akan pernah mampu terbayarkan.
Takdir kerapkali berjalan unik dan Hilya tak akan pernah mempu menebaknya. Tentang ending sebuah kehidupan manusia kerapkali ada banyak plot twist yang sebelumnya tak pernah dibayangkan. Maka barangkali tugas manusia memang haruslah bersabar tentang apa pun yang menimpa dan bersyukur tentang apa yang telah dialami.
Kafi memutuskan untuk pergi sebentar membeli minum di koperasi dan di teras rumah hanya ada Hilya seorang diri.
Gadis itu menarik napas, kemudian mengembuskannya pelan. Dia mulai berjalan masuk, lalu mulai tersenyum saat beberapa pasang mata dari mereka memperhatikan.
"Abi... Umi, aku mau ngenalin seseorang sama kalian." Hilya tersenyum kemudian duduk di antara kedua orang tuanya.
"Kebetulan sekali kamu ke sini. Kami akan membicarakan pertunanganmu dengan Kafa," ucap wanita bergamis peach itu seraya tersenyum lebar.
Hilya terdiam. Untuk beberapa saat gadis itu masih mencoba mencerna perkataan ibunya yang berbanding terbalik dengan keinginannya. Kafa yang duduk di seberang Umi Hanin pun tampak terkejut dengan kabar yang mendadak seperti ini bahkan bukan hanya Kafa dan Hilya, Rafael—ayah Kafa pun tampak kaget dengan penuturan Umi Hanin. Pasalnya Rafael bukan seorang ayah yang akan membiarkan anaknya menikah atau bertunangan di usia yang masih belia.
"Eh—umi, aku serius. Aku ingin mengenalkan seseorang pada Umi," tampik Hilya.
"Hilya, Umi tahu bahwa kamu tak akan mau menikah saat ini. Umi paham bagaimana jalan pikirmu dan Umi hanya memintamu untuk bertunangan terlebih dahulu dengan Kafa, setelah itu kalian bisa bicarakan baik-baik akan menikah kapan."
Hilya semakin membisu dibuatnya. Wanita paruh baya itu seakan memaksa Hilya tentang sesuatu hal yang tak Hilya inginkan. Bagaimana gadis itu akan menjelaskan bahwa dia ingin mengenalkan Kafi dan membiarkan Kafi berbicara di depan mereka bahwa keduanya ingin meminta restu tentang hubungan yang rumit itu. Namun lagi-lagi Hanin seakan menahan Hilya untuk tak bersuara.
"Umi tolong dengarkan aku. Aku ingin menikah tapi bukan dengan Kafa. Di hati Kafa sudah ada perempuan lain, di hatiku juga. Tolong jangan memaksakan kehendak. Apa Umi tahu bagaimana perasaan anak kedua Umi saat kalian memutuskan untuk segera menikahkannya dengan perempuan yang tidak dia cintai? Apa kalian dengar tentang tangisnya di suatu malam sebelum akad dikumandangkan? Umi, aku mohon biarkan aku memilih." Kedua mata tajam Hilya telah berkaca-kaca. Pikirannya sudah tak menentu terbang ke mana-mana. Dia hanya berusaha memberi pengertian pada sang Ibu bahwa rasa tak bisa dipaksakan meski akhirnya ia tahu, bahwa Hilya harus mundur. Kedua orang tuanya bukan seseorang yang mudah mengiyakan dan Hilya harus bertahan tentang banyak penolakan-penolakan di depan.
"Umi nggak ngerti." Gadis itu bangkit lalu pergi meninggalkan rumah keluarga ndalem dan berlari kecil menuju asrama.
"Ya!" panggil seseorang di depan koperasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Mazhab Cinta (Completed)
Spiritual*Manshur Al-Hallaj Kafa Narelle Stewart, remaja 16 tahun harus dikecewakan oleh luka masa lalu yang membuatnya patah. Bahkan setelah kejadian itu ia dihadapkan pada Kafi, saudara kembarnya yang menganut paham deisme. Pada puncak masanya, mereka di...