Bab 07 || Rasa yang Sama

2.5K 376 32
                                    

Aku bertanya pada semesta tentang sebuah rasa. Ia berbisik, rasa yang manis hanya saat mengingat-Nya.


Kafa mengoper bola dengan kaki kanan berusaha melewati pemain-pemain lawan yang menghadang di depan. Kaus hitam pendeknya sudah mulai lembab karena keringat, sedangkan celana trainingnya sedikit kotor karena debu di lapangan. Rambutnya yang kecokelatan sudah berantakan tak karuan serta kulitnya yang putih, sedikit memerah saat terkena terik matahari langsung.

Setiap istirahat kedua, Kafa memang selalu diajak futsal di lapangan oleh teman-teman kelasnya. Pasalnya anak itu sangat jago mengecoh lawan dan sering membobol gawang milik rival. Namun tak jarang ia menolak. Karena bagi Kafa, mengingat seluruh nadhom Alfiyah lebih penting daripada berhasil memasukkan bola ke gawang.

"Ngombe sek, Fa. Panas men." Seorang laki-laki menepi, diikuti Kafa yang hendak istirahat sebentar.

"Aku wes lah. Mau ngaji!" Kafa tertawa kecil sembari menyabet seragam putih abu-abu miliknya yang tadi berada di ranting anak pohon mangga.

"Yowes lah, awakmu wes nyumbang loro," sahut salah seorang temannya.

"Kantin yuk, Fa. Pengen siomay," ajak kawan lain.

"Ganti baju dulu," sahut Kafa.

Laki-laki itu berjalan ke kelas menelusuri koridor setelah seragamnya tersampir ke bahu. Satu hal yang tak Kafa sukai, ia sering menjadi pusat perhatian saat bermain di lapangan. Selain futsal, Kafa memang tak suka dengan olahraga. Bahkan ia tak suka mengikuti Organisisi di sekolah. Dari dulu, laki-laki itu lebih suka asrama.

Setelah lulus Tsanwiyah, Kafa memang sudah memutuskan untuk lanjut Aliyah di asrama lagi. Tapi Hasan-sang kakek-tak mengizinkan Kafa untuk sekolah di dalam. Akhirnya, mau tak mau remaja itu didaftarkan pada salah satu sekolah favorit kota Jogja.

Sikap santun dan peduli yang dimiliki Kafa, memang dapat mengubah keadaan di sekitarnya. Laki-laki itu tak pernah memilih untuk bermain dengan siapa. Kafa tak pernah melihat perbedaan agama, ras, suku, bahasa. Bagi Kafa, selama dia manusia maka tugasnya hanya untuk peduli.

Selama 2 tahun di sana, sudah lumayan banyak teman-teman yang tertarik dengan ma'had. Sehingga banyak dari teman-temannya yang mulai sibuk dengan kegiatan asrama dan memilih pindah dari sekolah.

"Fa, temenin saya ke gereja. Absen kelas ketinggalan di sana," ucap Kevin, bendahara di kelas XII IPA 2.

Kafa yang baru saja masuk ke kelas untuk mengganti baju, menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. "Yuk lah, aku sekalian mau ganti baju di musalla."

Mereka berdua berjalan bersisian menuju gereja yang terdapat di sebelah barat sekolah. Tepatnya gereja itu berdampingan dengan masjid. Kafa suka sekolah ini, karena lingkungan mengajarkan toleransi yang tinggi. Tak ada diskriminasi, dalam satu lingkup mereka bercampur mempraktikan 'Perikemanusiaan' yang dijunjung tinggi.

Sekarang, langkah kaki mereka mulai memasuki rumah ibadah itu. Kafa menunggu di depan karena ia belum cuci kaki. Biasanya, Kafa sering menemani Kevin berdoa, dan ia pernah masuk ke dalamnya. Remaja itu ingat sebuah perkataan dari ulama yang sampai sekarang masih melekat jelas, "Ciri-ciri keras hati adalah saat melihat gereja kau takut imanmu runtuh sedangkan saat mendengar lantunan ayat suci, tak sedikit pun hatimu tersentuh."

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang