Bab 29 || Hi-T*c-c yang Hilang

1.6K 255 51
                                    

Sebab, yang paling baik adalah ketika menerima kehendak-Nya, karena meyakini bahwa Dia adalah perancang prolog dan epilog kehidupan manusia paling manis.


Ramai para santri yang tengah menunggu giliran untuk melaksanakan musabaqoh Qiraatul kutub malam ini. Kitab yang dibacakan adalah Fathul Muin bagi tingkat Ulya, Fathul Qarib bagi tingkat wustha dan Safinah bagi tingkat Ula 1, dan Kasyifah bagi tingkat Ula 3.

Kafa meletakkan kitab bersampul biru di pangkuan. Sungguh, kalau boleh jujur Fathul Muin itu adalah fiqih yang kerapkali menjebak. Seseorang yang ingin mengerti harus mampu benar-benar teliti. Bagi Kafa Fathul Muin termasuk dalam golongan kitab klasik yang berat, tetapi saat berhasil memahaminya ada rasa bangga terhadap diri sendiri karena mau berjuang dalam kesulitan.

"Ada kisi-kisi nggak paling banyak suruh bab apa?" tanya Bara yang duduk di kursi sebelah Kafa.

"Tadi si Hisyam diuji bab zakat terus si Asyas bab jual beli," jawab Kafa. Bagaimana pun dia tak mau mengganggu santri lain yang sedang berlatih kembali membaca kitabnya.

Musabaqoh Qiraatul Kutub ini memiliki tujuan tersendiri, yaitu untuk mengevaluasi kualitas keilmuan para santri dalam membaca kitab. Pasalnya dalam Qiraatul Kutub, mereka tidak hanya dipinta untuk membaca saja, melainkan dipinta untuk menerangkan dan jangan lupa bahwa mereka pun akan diberi pertanyaan seputar Nahwu Sorof di dalamnya.

"Ya Allah aku paling pusing dua bab itu," gerutu Bara.

"Ya doa aja semoga dapet bab salat," ujar Kafa. Bab salat adalah yang paling pertama dan barangkali Bara bisa. Sesungguhnya Kafa juga sedang gemetar karena sang penguji bukan asatiz yang dikenal dan Kafa belum benar-benar siap melakukan ujian ini.

"Apalagi itu, aku yang paling bisa bab nikah, Cak, bisa request nggak ya?" kata Bara lagi.

"Mau request mah ke kafe, Ra. Paling enak mah safinah sih, aku kalau sampai deg-degan banget ntar mundur."

"Ya ampun, Cak, kamu aja dregdeg gimana aku."

"Ya aku juga manusia," sahut Kafa.

"Cak, asli dari tadi aku nahan pengen p*p," bisik Bara. Kali ini suaranya benar-benar tertahan. Laki-laki itu memang seringkali merasakan gemetar berlebihan bila berhadapan dengan penguji baru.

"Biasanya kan sebelum setoran juga ngerasa kebelet. Udah jangan ke kamar mandi, lagian nggak bakal keluar," kata Kafa.

Sekarang mereka berada di dalam aula. Jam menunjukkan pukul 21.30 dan Kafa belum juga dipanggil. Sejam lalu, dia bertemu Albania dan sekarang dia dipinta mengikuti ujian saat hatinya belum benar-benar pulih dari kecewa yang dirasakan. Bisa jadi Kafa memang belum siap karena perasaan kali ini yang tak terdefiniskan.

"Cak, coba buka bab salat Sunnah. Lafaz 'nafl' itu, Cak. Aku tulis lagi keterangannya." Bara merogoh pulpen hi t*ch dari saku, lalu siap menulis di sebelah kitab yang masih memiliki sedikit celah kosong.

Kafa yang sedang membaca bab jual beli di halaman 67 langsung membuka bab salat sunnah. "Kalau di kitabku, keterangannya gini lafaz nafl secara bahasa berarti tambah (ziyadah). Ibadah sunnah secara syari'at akan mendapat pahala jika dilakukan, dan tidak disiksa jika ditinggalkan. Lafaz nafl sama dengan lafaz tatawu, mustahab, mandub...."

"Selanjutnya, Bara dari Nadwatul Ummah!" Suara panggilan dari salah satu asatiz itu melengking.

"Mampus, Cak. Rasa-rasane aku nek ra kuat langsung kabur wae. Iki badanku panas dingin tenanan." Bara langsung bangkit setelah meletakan kitabnya di atas pangkuan Kafa. Dia menarik napas lalu melangkah ke depan.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang