Bab 03 || Human(is)me

4.3K 448 71
                                    

Bagiku agamaku, bagimu agamamu, baginya tak beragama adalah haknya.


Gadis setinggi 160 sentimeter memakai gamis cokelat muda telah berdiri di depan kantor asrama, mencaritahu siapa yang ingin menemuinya saat ini. Dan sekarang pandangannya terjatuh pada dua orang remaja. Keduanya memiliki tinggi yang sama, hanya saja di antara mereka ada yang berkacamata minus dan Hilya terkejut saat benar-benar telah mengenalnya. Kafi. Ya, laki-laki berambut pirang itu Kafi, saudara kembar Kafa. Kendati di antara keduanya tak ada kemiripan tetapi  Hilya mampu membedakan mereka.

Ah, mengingat tentang beberapa tahun silam, ingin rasanya berbalik ke asrama, tetapi rasa itu berusaha ditahan, karena bagaimana pun ia penasaran dengan kedatangan mereka yang mencarinya.

Tentang Kafa, Hilya memang tak terlalu kenal dekat dengan santri Nadwatul Ummah itu. Ia hanya tahu bahwa Kafa kecil kerapkali mendapat juara sebagai penghafal nadhom-nadhom kitab dasar dan menjadi santri teladan ketika masih di sini. Tentang rumor bahwa Kafa kecil mengaguminya, Hilya tak memedulikan. Bahkan sepertinya itu bukan hal penting untuk dibahas.

Di sisi lain, dua saudara kembar itu masih membeku di tempat. Gadis itu... Kafi baru tahu bahwa ada perempuan yang memiliki wajah seteduh dia.

Usai tersadar, Kafa langsung menarik tangan Kafi setelah tadi sempat terjeda karena pertemuan yang tiba-tiba.

"Assalamualaikum, Ning Hilya. Ini ransel punyamu?" tanya Kafa sembari mengangkat ransel hitam ke depan Hilya.

Gadis itu nampak terkejut. Ransel itu benar miliknya. Hilya mengangguk cepat. "Alhamdulillah, bener ini punyaku. Berarti ranselmu ada sama aku," sahut Hilya. Kedua matanya tampak berbinar saat mengetahui bahwa miliknya kembali dengan utuh.

"Bukan punya saya. Kafi yang ambil." Kafa menunjuk laki-laki di sebelahnya.

"Gue nemuin ransel lo di wastafel. Punya gue nggak ada di sana. Gue pikir memang benar-benar tertukar, jadi gue bawa ransel lo pulang," jelas remaja bernetra biru gelap itu.

"Mas Hamdan yang nggak sengaja ambil ransel yang salah. Maafkan kakakku ya. Oh ya kalian masuk dulu, aku ambil ransel punyamu di kamar," ujar gadis itu.

Kafa hanya mengangguk. Sedangkan Kafi terlihat sudah bosan berada di sini. Suasana pesantren semakin ramai. Beberapa menit lagi kemungkinan azan ashar akan berkumandang, terlihat dari para santri yang mulai kembali ke asrama untuk persiapan salat.

Tak lama dari itu Hilya kembali dengan membawa ransel hitam milik Kafi. Iya, ransel itu benar-benar miliknya.

"Tadi saya sempat membuka, tapi saya tak temui petunjuk apa pun untuk segera dibalikkan pada pemiliknya," ucap Hilya santun.

Kafi meraih ransel itu. "Yap. No problem, yang penting sekarang udah beres," kata Kafi lembut.
"Kafa, insya Allah nanti kita akan sepondok bareng," ucap Hilya pada laki-laki berambut kecokelatan itu.

"Di Jogja? Maksudnya Ning Hilya mau pindah ke sana?" Kafa tak mengerti.

Hilya mengangguk. "Iya. Aku sudah diizinkan abi buat menghafal. Jadi, aku akan mulai hafalan sama Mas Adam. Dan mungkin Mas Adam yang akan carikan sekolah buatku," jawabnya.

"Saya tunggu di sana, Ning," ungkap Kafa.

Hilya hanya tersenyum, sebelum akhirnya Kafa dan Kafi pamit dan segera pulang meninggalkan Ma'had tersebut.

Barangkali segala kisah akan terulang. Tapi saat ini, Kafa memang tak boleh berbohong. Kafa kecil dulu hanya mengagumi Hilya, tak lebih.

Sejak jarak membiarkan mereka menjauh, Hilya bukan lagi menjadi tempat tujuan. Hilya hanya bayangan yang tak bisa digenggam. Nyatanya, Tuhan mempertemukan Kafa dengan seseorang yang ia mengerti, padanya segala harap hadir lalu pergi meninggalkan banyak duri di ulu hati.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang