Bab 22 || Surat dari Pengasuh

1.7K 303 106
                                    

الحب ليس معصية .. المعصية أن
تتلاعب بمشاعر البعض تحت مسمى الحب.

Cinta bukanlah maksiat.
Maksiat itu mempermainkan perasaan sebagian orang atas nama cinta.

—Dr Musthofa Mahmoud

(Teman-teman, ingat ya kalau udah nggak nyaman baca Mazhab Cinta, nggak papa langsung tinggalkan. Terima kasi)


Di dalam kantin yang kian ramai, Kafa, Kafi dan beberapa teman mereka duduk di salah satu sudut ruang. Sembari menikmati mie ayam bakso yang baru saja tiba sekitar dua menit lalu, sesekali Kafa membuka nadzhom kecil yang dipegangnya.

Meski di sekolah sekali pun, Alfiyah tetap harus diepertahankan dalam otaknya yang sudah merekam 1002 bait menjelaskan banyak kaidah-kaidah yang mesti dipahami oleh santri Ulya. Kafa tak pernah bosan mengulang syair-syair tersebut, membiarkan huruf demi huruf menari di pikirannya dengan bebas. Dia antara banyaknya pelajaran, Kafa memang sangat suka pada Nahwu. Terlepas banyak yang beranggapan bahwa Nahwu sangatlah sulit, tetapi Kafa tetap menjadikannya sebagai pelajaran favorit.

Laki-laki itu menautkan kedua alisnya saat melihat sesuatu menyembul dari balik lembaran kuning kitab kecil yang dipegangnya. Kafa menarik kertas putih itu, lalu dibukanya kemudian karena penasaran. Bahkan dia lupa isi dari kertas yang disimpannya cukup lama.

Seseorang dicaci maki, tetapi ia tak membalas cacian tersebut. Kemudian seseorang bertanya, "Kenapa kau tak membalas caciannya?" Jawabnya, "Jika seekor anjing menggonggong padamu, apakah kau juga menggonggong menggonggong padanya? Kalau keledai menendangmu, apakah kau juga menendangnya?" Kafa tersenyum saat melihat catatan tangannya dari kutipan kitab Rabiul Abrar entah beberapa tahun lalu. Dia masih ingat bahwa ia dapatkan penjelasan itu dari bibir Kiai Usman langsung dan Kafa mencatat lalu menyimpannya di kitab yang paling sering dibawa. Sejujurnya penggalan manis dari kitab yang ditulis oleh salah satu salafussalih itu adalah kunci kehidupan bagi Kafa. Betapa seharusnya sebagai manusia harus menetapkan beberapa kali sikap bodo amat.

"Eh Fa, mumpung ada kamu di sini, gue mau nanya. Perbedaan itu wajar ya, Fa? Menurut lo sendiri nyikapi itu gimana? Gue tahu gue Islam, cuma ya ngene iki. Awam. Gue cuma pengen tahu aja. Lo sebagai anak pondok pasti paham," tanya Milan. Di antara Reza, Aldo dan Milan yang paling mending memang Milan. Sesekali pernah datang pada Kafa untuk menanyakan suatu hukum. Berbeda dengan Aldo dan Reza, yang bahkan kerapkali allahu a'lam terhadap apa yang dijalani.

"Perbedaan itu sangat wajar. Perbedaan itu bukan batas. Kalau pun dia membentuk dinding, maka kita harus mendobraknya."

"Dulu itu keluarga gue kecuali Kafi, pernah di-bid'ahkan sama tetangga baru dekat rumah. Katanya kita melukukan amaliah yang nggak Rasulullah lakukan. Padahal apa yang kita lakukan ya Maulid seperti biasa. Doa, zikir, salawat. Dan saat itu kami cuma tersenyum. Kami berdoa, bahkan bila kami memang sesat karena melakukan amaliah yang membuat rasa cinta kami bertambah pada Rasulullah, semoga Allah membiarkan kami dalam kesesatan yang indah ini. Hingga akhirnya kami tahu, bahwa tetangga baru kami itu ternyata baru belajar Islam. Gue bukan ingin menggibahnya, cuma ini bisa dijadikan pelajaran bahwa tetangga gue itu memang mendalami quran hanya dari terjemahan saja. Dan sesungguhnya itu sangat bahaya. Otak kita yang bodoh ini mustahil memahami betul sastra paling tinggi dan indah sejagat raya tanpa bantuan para salafussalih yang telah menulis banyak kitab tafsir untuk kita yang kemudian menjadikannya rujukan. Bahkan hadist aja, kan, nggak bisa ditelan mentah-mentah.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang