Part 15 || Rumah Lama

2K 290 53
                                    

Cinta adalah ketika dibaca lembar pertama dan kutemui deretan aksara yang terlahir dari kedua matamu.


Semakin naik, jalanan semakin terasa terjal dirasa. Entah sekarang telah pukul berapa Hilya tak peduli dan Hilya tak membawa ponsel maupun arloji yang melingkar di tangannya. Dia hanya membawa diri yang akan diserahkannya entah pada apa nanti. Tugasnya hanya bertemu seseorang dan ia tak menginginkan apa pun selainnya.

"Rumahnya di mana, Dik?" tanya sang Sopir.

Hilya langsung tersadar. Buru-buru dia menutup jendela saat malam telah benar-benar datang. "Masih lurus dikit, Pak," sahutnya setelah memperhatikan jalanan di sekitar.

Gadis itu memperhatikan jalanan di luar mencoba mengingat kembali rumah lama ayahnya yang ditempati oleh sepupu Umi Hanin. Seseorang yang ingin ditemuinya sedang menginap di salah satu rumah yang berada di kecamatan Patuk itu. Sangat dekat dengan bukit bintang.

"Stop, Pak, di sini."

Taxi langsung berhenti. Setelah menyerahkan beberapa lembar rupiah, Hilya langsung turun dan berjalan menuju rumah bercat biru yang terlihat sangat asri. Di sekitarnya jarang sekali bangunan serupa. Rumah itu benar-benar sepi dari keramaian kota Jogja.

Melihat tiadanya mobil di pelataran rumah, barangkali penunggunya sedang keluar. Gadis itu mendekat ke arah pintu, memasukan kunci yang dibawanya ke lubang lalu mendorongnya kemudian. Terlihat ruang tamu yang cukup luas, sofa berwarna jingga saling berhadapan sedangkan temboknya bersih dari segala macam bingkai foto.

Di dalam rumah sangat sepi tak ada siapa pun. Kakak yang ditemuinya sedang keluar dan Hilya hanya memiliki pilihan untuk menunggu hingga Nabil kembali. Ditutupnya kembali pintu, lalu dia memutuskan untuk duduk di sofa, terdiam di sana. Menenangkan pikirannya di tempat paling sepi.

Perkataan Ini Hanin siang tadi masih seperti mimpi dan Hilya belum benar-benar mampu menerimanya.

🍭🍭

"Iya nanti kita ke Turki lagi." Sayup-sayup Hilya mendengar suara di luar. Dia melihat jam dinding di depan, tepat pukul 01.00 dan kakaknya itu baru pulang entah dari mana.

"Bener, ya. Aku pegang kata-katanya."

Pintu terbuka. Mereka yang tadi sedang tertawa tiba-tiba terlihat terkejut saat pandangannya langsung mendapati Hilya yang duduk di ruang tamu.

Nabil langsung meletakkan gitar di sofa dengan asal. "Hilya, sama siapa ke sini?" tanyanya. Istri Nabil yang masih tampak bingung memutuskan duduk di seberang mereka.

"Naik taxi."

"Astaga Hilya. Kamu tahu nggak gimana bahayanya malam hari? Jangan ulangi lagi!" Nabil sedikit meninggikan suaranya ketika hendak duduk di sebelah adiknya.

"Mas Nabil jangan marah."

"Mas nggak marah. Mas nggak mau kamu ada apa-apa." Nabil duduk di sebelah Hilya kemudian, setelahnya Hilya langsung memeluk kakaknya erat. Erat sekali. Air matanya tiba-tiba mengalir. Kendati dia tahu bahwa Nabil kerapkali bersikap tak enak padanya karena sikapnya yang manja, tetapi hanya pada Nabil lah Hilya berani menumpahkan segala kesahnya saat ini. Hamdan bukan orang tepat untuk diceritakan segala hal yang menyesakan karena dia tak pernah merasakan bagaimana takdir pernah mematahkan.

"Mas, aku nggak suka keputusan Umi." Suaranya yang bercampur tangis terdengar agak tidak jelas tetapi Nabil cukup memahami.

Hilya merasakan bahwa Nabil memeluknya lembut, laki-laki itu mengusap kepala Hilya penuh kasih. "Mas tahu Hilya nggak suka keputusan Umi, cuma Hilya nggak boleh gini juga."

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang