#7. Seandainya

2.8K 270 8
                                    

Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.

-Ummar Bin Khattab-


💚💚💚

Pagi yang tak begitu cerah, aku dan Citra berjalan melewati lorong-lorong koridor kampus dengan sangat pelan. Walau Citra setiap kali mengajakku untuk bicara, namun rasanya bibirku kelu untuk melakukannya. Dan akhirnya kami pun memilih untuk saling diam.

Tak lama, kami pun tiba di tangga menuju lantai dua. Tiba-tiba langkah kakiku terhenti, sebab mendengar suara seseorang yang sangat familiar ditelingaku. Aku segera membalikkan tubuhku untuk mengarah pada suara tersebut. Dan akhirnya aku dapati, seseorang yang sedang mengobrol sangat akrab, mungkin bersama teman-temannya. 

Seseorang itu Raihan. Entah kenapa rasanya hidupku satu hari pun tak bisa untuk tidak bertemu dengannya. Rasanya sangat sulit. Aku tidak mau memedulikannya, aku memilih untuk melanjutkan jalanku menuju ruangan kelas. Namun disaat aku berbelok setengah, ada seseorang yang memanggilku.

“Syifa!” 

Aku terkejut mendengar suara itu. Aku tak berani untuk menatapnya, karena sudah jelas orang yang memanggilku adalah Raihan.

Namun, Citra menyadarkanku, dia memegang pundakku seraya berkata, “Temui dia!”

Aku bingung tapi aku mengangguk. Baiklah, aku dan langsung menghadap kepada Raihan. Dia terlihat sangat bahagia, terlihat dari senyumnya yang begitu hangat kepadaku. Dia semakin mendekatiku dan tepat di hadapanku. 

“Selamat pagi, Syifa!” dia menyapaku, rasanya aku ingin sekali pergi.

Ya Allah, kenapa semakin dekat dengannya semakin membuatku tak ingin jauh darinya? Oh Allah, aku tak mau menanam rasa ini lebih dalam. Aku takut rapuh.

“Syifa, disapa tuh sama Kak Raihan!” ucap Citra yang membuatku terkejut.

“Ahh, iya maaf,” ucapku sambil senyum-senyum tidak jelas, karena aku tahu pasti bagaimana ekspresi wajahku saat ini.

“Aku duluan ke kelas Syifa. Bye!” Citra dengan teganya meninggalkanku sendirian. Dan sekarang hanya ada aku dan Raihan berdua di sini. 

“Apa kamu merasa tidak nyaman?”

Mendengar pertanyaannya membuatku merasa tidak enak, tentu saja aku nyaman hanya saja aku belum terbiasa, “Enggak kok, aku enggak biasa aja berdua sama cowo,” jelasku padanya.

“Apa aku boleh bicara sesuatu?”

Mataku langsung membulat dan hatiku dibuat berdecak tak karuan. Padahal aku belum dengar ungkapan apa-apa darinya, tapi entah kenapa mendengar ucapannya barusan membuat hatiku jadi penasaran.

“Ii-iya boleh,” jawabku dengan terbata-bata.

Dia terus menatapku sangat lekat, sampai-sampai aku tak berani menatapnya. Yah, aku takut salah tingkah dibuatnya. Kapan mau bicaranya? Aku sudah gugup! Pikiran dan hatiku sudah meraung-raung dan berantakan tak terkendali.

“Hmm. Tidak deh, nanti saja!” ungkapnya.

Aku benar-benar ingin membanting tasku. Sudah hampir mati aku dibuatnya, karena suhu tubuhku berubah drastis jika didekatnya. Kadang naik panas, kadang turun dingin. Dasar Aku!

“Yasudah, aku permisi ke ruangan. Assalamu’alaikum,” ucapku seraya pergi berlalu.

“Wa’alaikumsalam.”

Aku terus berlari menuju ruangan. Rasanya saat ini wajahku sudah tak dapat terkontrol! Semuanya menjadi sangat berantakan.  Kenapa jadi begini? Kenapa ketika didekatnya, rasanya sangat menenangkan namun menakutkan?

Antara Timur Dan Barat [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang