#1. Khitbah yang kutolak

10.8K 595 34
                                    

“Ilmu itu bagaikan binatang buruan, sedangkan pena adalah pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.”
-Imam Syafi’i-


💚💚💚


Kalau dipikir-pikir, hidup akan lebih menyenangkan jika kita mempergunakan waktu itu untuk bersilaturahmi, memperbanyak ibadah, dan mencari ilmu. Mudahnya jika kita tak terlalu banyak memikirkan hal yang tak terlalu penting. Utamakan yang lebih utama, seperti ibadah. Sebab kita diciptakan oleh Allah untuk kembali kepada-Nya. Jadi, hidup ini pun hanya untuk-Nya. Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang sama sekali tidak lebih utama daripada ibadah, semisal cinta. Itu hal sulit bagi mereka yang tidak tahu arti cinta yang sebenarnya. Manusia zaman sekarang memperlakukan cinta hanya untuk sebatas kesenangan dunia. Ingatlah, bahwa apapun yang dipergunakan untuk kesenangan dunia, hanya akan sementara. Sebab dunia itu sementara.

Aku baru selesai melaksanakan sholat dhuha di masjid bersama anak-anak Pesantren Ar-Rohman. Di jam pagi seperti ini, anak-anak pesantren tidak banyak melakukan kegiatan, sebab beberapa ada yang pergi ke sekolah. Aku memilih ikut bersama anak-anak pesantren yang kira-kira umurnya masih dibawah 15 tahun. Aku menyukai kehidupan mereka, tidak seperti banyak beban yang ditanggung. Di umur seperti ini, mereka lebih banyak mengutamakan waktunya untuk bersama, sedangkan aku? Bahkan aku sudah jarang bergaul. Sebab, orang-orang yang seumuran denganku, mereka sudah banyak yang menanggung beban seperti berumah tangga. Maka dari itu, aku tidak mau mempersulit hidupku hanya untuk memikirkan hal-hal tidak baik. Aku merasa hidupku yang seperti ini pun sudah membuatku nyaman.

Aku ikut kelapangan tepatnya di halaman pesantren Ar-Rohman untuk bermain dengan anak-anak santri perempuan. Mereka semua sedang bermain layangan, aku rindu permainan ini, jadi mengingatkanku dengan masa kecil. Aku mencoba saja, siapa tahu seru. Sebab melihat ekspresi bahagia mereka yang bermain layangan ini sepertinya menyenangkan. Aku menerbangkan layanganku berwarna pink itu. Tak begitu melelahkan ternyata, ditambah cuaca pagi yang benar-benar menurutku nyaman ini menyejukkan.

“Ning Syifa!”

Aku terpelonjak, suara yang sekiranya sangat mendengung ditelingaku benar-benar mengejutkanku. Karenanya, layanganku jadi terjatuh. Aku mendengus kesal, hal yang awalnya menyenangkan, ternyata kalau ada yang mengganggu akan berakhir menyebalkan juga.

Wanita yang memanggil namaku itu berlari ke arahku. Aku hanya menatapnya saja, sebab dia sudah biasa berlaku seperti itu.

“Ning! Dipanggil Abi!” ucapnya sudah berada di hadapanku. Dia begitu tergesah-gesah dan kelelahan.

Dia memanggilku Ning, karena aku adalah anak dari Gus Tholib, yaitu Ayahku pemilik Pondok Pesantren Ar-Rohman. Dan dia tadi bilang apa, Abi? Aku pun tidak memberinya respon apa-apa. Lantas aku berlari kencang sebab Abi memanggilku. Aku tak boleh mengulur waktu jika sudah dapat perintah Abi. Dan aku tak pernah menolak apapun yang diperintahkannya kepadaku. Sebab Abi adalah ayahku, dia orangtuaku. Dan aku tidak mau membebankan orangtuaku, apalagi menyakiti mereka.

Aku begitu tergesah-gesah dan kini sudah sampai di depan rumah. Tapi sesampainya di depan, Ibuku sudah berada di sana menanti kedatanganku. Dengan nafas yang masih kurang kontrol dan mimik wajahku yang memerah, aku langsung saja menghampiri Ibuku yang sudah berdiri di hadapanku. Secara pelan-pelan kakiku melangkah, tanganku terasa bergetar sambil terus menggulung kerudung. Ibuku menghampiriku dan memegang pundakku. Dia mengelus-ngelus kerudungku yang mungkin memang sangat acak-acakan.

“Rapikan dulu kerudungmu. Ada tamu yang menunggumu!” ujar Ibuku.

Aku menautkan kedua alisku. Aku bingung sebenarnya siapa yang mendatangi rumahku secara dadakan seperti ini. Aku segera merapihkan pakaian dan juga kerudungku. Lalu Ibu mengajakku masuk ke dalam.

Antara Timur Dan Barat [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang