#12. Santri baru?

2.2K 207 6
                                    

Jika ujian seluas samudera, maka Allah punya hadiah seluas langit dan bumi.


💚💚💚

Raihan dan Alif sudah tiba di kamar santri putra. Raihan langsung duduk di kasurnya sambil terdiam diri. Alif yang melihat hal itu merasa ingin menghiburnya. Namun, Alif justru tidak ingin malah menambah suasana hati Raihan semakin memburuk. Alif pun memutuskan untuk pergi meninggalkan Raihan di kamar sendirian.

Alif berjalan keluar melihat-lihat suana pesantren. Kalau siang, seluruh santri diperbolehkan keluar melaksanakan aktivitas karena ada juga yang sedang bersekolah. Saat sedang melihat-lihat, Alif melihat seorang wanita yang seperti merasa kesakitan di pinggir taman.

Alif langsung menghampiri wanita itu karena khawatir akan terjadi sesuatu, "Apa kamu baik-baik saja," tanya Alif sambil meraih tangan wanita itu.

Wanita itu adalah Ainun, kakaknya Syifa. Ainun merasa terkejut karena tiba-tiba ada lelaki yang menyentuhnya. Ainun lantas menepis tangan Alif dan berusaha untuk berdiri.

"Aku enggak apa-apa," jawab Ainun.

"Kamu seperti sedang sakit, wajahmu juga pucat. Apa kamu tidak ingin lapor? Kalau gitu aku saja yang membantumu," ujar Alif sambil menggandeng Ainun.

Sekali lagi Ainun menepis tangan Alif, "Aku enggak sakit. Aku hanya lelah, kalau gitu aku masuk dulu."

"Apa kamu bisa berjalan dengan baik?" tanya Alif lagi karena merasa khawatir.

"Tentu saja."

Ainun melepas genggaman Alif dan berusaha berjalan dengan baik. Memang benar Ainun sekarang sedang merasakan sakit akibat kanker rahim yang diidapnya. Tidak lama Ainun pun sudah menjauh dari hadapan Alif.

"Apakah benar dia tidak sakit?" gumam Alif yang masih merasa khawatir.

💚💚💚

Aku dan seluruh santri putri sedang bekerja di masjid. Seperti biasa, setiap minggunya masjid dibersihkan dua kali. Aku dan dua santri putri sedang berada di tempat berwudhu, sebab kami sedang membersihkan terpal masjid. Sudah hampir satu jam, aku terus mengerjakan pekerjaan yang satu ini. Sedangkan santri putri yang lainnya membersihkan ruangan masjid di dalam.

"Ning Syifa!" teriak seseorang yang mungkin jaraknya masih jauh dariku.

Aku mencari dari mana sumber suara tersebut, namun tidak kutemukan. Entahlah, mungkin halusinasiku saja.

"Ning Syifa, kamu aku panggil enggak nyaut-nyaut!" tukas Diana kepadaku. Diana ternyata sudah berdiri di belakangku. Seperti biasa, dia akan berada di dekatku dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Aku dengar. Tapi aku enggak lihat kamu!" tukasku.

"Hmm, oke!" jawabnya. Dan aku kembali melanjutkan pekerjaanku.

"Ning Syifa, kamu sudah tahu belum? Kalau di pesantren ini, ada santri baru." Aku langsung terhenti dari pekerjaanku ketika mendengar ucapan Diana barusan.

Aku memilih berdiri dan langsung menarik Diana jauh dari tempat cucianku, "Kamu tau dari mana?" tanyaku.

"Aku lihat sendiri. Mereka sedang berkeliling," jawabnya.

Aku tidak bisa menbalas ucapan Diana. Entah kenapa aku merasa Raihan sudah melewati batasnya. Dan bagaimana bisa dia menjadi santri di sini? Apakah dia tidak menunjukkan identitas yang sebenarnya?

"Kamu kenapa, Syif?" tanya Diana.

Aku langsung tersadar dari lamunanku, "Enggak apa-apa. Pokoknya gini ya, cukup kita saja yang tahu kalau ada santri baru di sini."

"Ke ... Kenapa? Bukankah seluruh penghuni pesantren ini harus tahu?" tanyanya tampak kebingungan.

"Aku mohon, jangan sampai semuanya tahu. Aku mohon ya, nanti kalau sudah saatnya, baru aku jelasin sama kamu semuanya!" mohonku kepada Diana.

Diana mengangguk, "oke, enggak apa-apa."

Ketika Diana hendak beranjak, dia malah kembali melangkah kepadaku, "Tapi, yang satu orang, aku kayak kenal dia. Dia yang waktu itu, ketemu kamu di depan, kan?"

Aku langsung menutup mulut Diana, aku sadar aku salah, tapi mau bagaimana, dia bicara sekeras suara toa masjid, aku takut semua dengar.

"Hmm..."

Aku kembali melepas genggamanku dari mulutnya, "Aku mohon, jadi rahasia kita," tukasku.

Diana mengelus-ngelus mulutnya, "Hmm, oke deh. Tapi jangan kayak tadi juga, sakit tahu!" tukasnya sambil menunjuk-nunjukkan bibirnya.

"Iya, aku minta maaf ya, Diana," pintaku.

"Iya, aku maafin," jawabnya, lalu dia pergi meninggalkanku.

Aku terus menatap kepergiannya, dengan pikiran yang meracau entah kemana.

Dia tidak tahu, apa yang akan dia alami jika terus di sini nanti. Bagaimana dia bisa seberani itu. Tapi aku penasaran bagaimana dia bisa diterima di sini. Apa sebaiknya aku tanyakan saja pada admin pendaftaran? Benar, lebih baik aku harus tahu.

Setibanya di ruang administrasi, aku langsung menghampiri Ana yang menjadi admin pendaftaran di sana. "Assalamu'alaikum, Ana," ucapku padanya.

"Wa'alaikumussalam..."

Aku segera menghampiri Ana, "Ana aku ingin bertanya. Kemarin ada santri baru dua orang, apa benar mereka daftar di sini?"

"Oh ya benar, mereka daftar jalur mandiri," jawab Ana.

"Apa aku boleh liat berkas mereka?"Ana langsung mengeluarkan berkas-berkas yang ada di lemari.

"Terima kasih," ucapku yang kemudian membuka berkas-berkas itu dan membacanya.

Ternyata benar, Raihan dan temannya yang bernama Alif menggunakan data palsu. Raihan memalsukan identitas dengan mengurangi usia menjadi 16 tahun dan beragama islam. Sedangkan Alif mengurangi usianya menjadi 18 tahun dan memang sudah beragama islam.

Aku tidak habis pikir dengan Raihan, kenapa dia begitu rela melakukan apapun untukku. Bahkan aku tidak pernah memintanya untuk melakukan ini. Oh Allah, apakah harus sejauh ini rencanamu. Aku tidak ingin begitu berharap lebih. Aku hanya ingin engkau memberi jalan terbaik.

💚💚💚

Typo bertebaran:((

Cuma mau ngingetin:) Jangan lupa baca Qur'an hari ini😇

Antara Timur Dan Barat [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang