#16. Ar-Rohman

1.9K 181 0
                                    

فبأ ي آلاء ر بكما تكذ با ن
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"
-Surah Ar-Rohman-


💚💚💚

Sungguh, hatiku tidak dapat berbohong kalau aku benar-benar nyaman disini -aku ingin terus mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an ini sampai selesai. Aku memilih duduk di belakang orang yang sedang membaca surah Ar-Rohman itu, padahal aku tidak tahu sama sekali siapa yang sedang membacanya.

Surah Ar-Rohman adalah surah yang paling aku sukai. Surah ini memiliki maksud dan makna yang benar-benar akan menyentuh setiap perasaan.

"Shodaqallahul'adzim."

Aku tersentak kaget, ternyata aku berdiam diri di sini sampai pembacaan surah Ar-Rohman selesai. Tiba-tiba orang yang membaca Al-Qur'an tadi menghadap ke belakang dan dia menatapku.

"Syifa?"

Aku sungguh terpekik kaget, ternyata seseorang yang membaca Al-Qur'an tadi adalah Gus Ali. Betapa malunya diriku yang sedari tadi berdiam menatapnya dari belakang. Sungguh, jika aku tahu siapa yang mengaji tadi, mungkin aku tidak akan menghampirinya sampai sedekat ini. Lagipula aku baru saja bertemu dengannya tadi di halaman belakang, kenapa dia bisa tiba-tiba sudah ada di masjid?

"Kenapa diam begitu? Kemarilah, aku ingin bicara denganmu sebentar," ujarnya.

Aku langsung mengangguk dan menghampirinya lebih dekat. Dia nampak sedang membuka Qur'annya.

"Qur'an surah apa yang paling kamu suka?" tanyanya padaku.

Aku terdiam sebentar, saat ini aku dibuat gugup olehnya, "Ar-Rohman mungkin," jawabku. Tapi memang benar, aku sangat menyukai surah Ar-Rohman.

"Baiklah. Aku akan mengkaji sedikit. Apa kamu paham arti surah Ar-Rohman," tanyanya, sontak aku langsung dibuat terpaku dengan pertanyaannya.

"Aa- Aku, ingin mendengarkanmu saja," jawabku padanya. Sebenarnya aku tahu makna surah Ar-rohman, hanya saja aku tidak ingin berbicara panjang dengannya.

Dia mengangguk dan mulai membuka lembaran Al-Qur'an miliknya, "Surah Ar-Rohman memiliki keistimewaan, salah satunya pada ayat Fa biayyi 'alaa irobbikuma tukadzibaan. Di ayat tersebut, kita dapat menemukan pengulangan sebanyak 31 kali. Dan apa kamu tahu, mengapa Allah mengulangi kalimat tersebut? Ternyata dimana ayat tersebut memiliki arti 'maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan'."

Aku terdiam sejenak menunggu kelanjutan dari pembicaraannya. "Maksud dari pengulangan ayat itu, mungkin sebagai peringatan, bahwa segala nikmat pemberian dari Allah adalah satu anugerah dan rahmat. Nikmat murah rezeki, nikmat kesehatan, nikmat kemudahan segala urusan, nikmat kemanisan iman dan segala nikmat yang Allah berikan untuk kita adalah segalanya sempurna, tidak ada cacat maupun cela. Tetapi masih tidak ada yang mensyukuri segala nikmat yang telah dikaruniakan. Mereka malah meragui takdir segala Qada dan Qadar yang telah Dia tentukan."

Dia menutup Qur'annya, "Kita sebagai manusia, harus selalu bersyukur atas kenikmatan itu. Bukan hanya pada perbuatan saja, tetapi dari dalam hati yang tulus. Belajar arti bersyukur dan jangan terus mendongak ke langit. Umur manusia semakin singkat, perubahan masa kian berlalu dengan cepat, jika tidak lagi memahami arti bersyukur itu ibaratkan manusia seperti layang-layang terputus talinya, dimana manusia jauh dari rahmat Allah semakin hilanglah nikmat kemanisan itu. Berlalu pergi tanpa disadari dan tidak ada tujuan hidup bila tidak lagi meletakkan Allah lebih dari segalanya."

Aku berdecak kagum, hatiku benar-benar tersentuh dengan penjelasannya. Seseorang sepertinya mana mungkin pantas untukku, sedangkan aku masih sangat jauh ilmu. Entah kenapa, seseorang sepertinya malah mencintaiku, padahal dia laki-laki yang baik, sedangkan aku masih jauh dari kata itu.

"Sudah masuk sholat ashar, aku akan jadi muadzin," ucapnya, lalu dia segera berdiri dan menggenggam mikrofon.

Aku pun juga berdiri dan segera keluar dari masjid untuk mengambil air wudhu. Di luar sudah banyak santri yang berbondong-bondong untuk melaksanakan panggilan dari Allah. Aku segera mengantri di belakang, untuk mengambil air wudhu.

"Syifa!"

Aku tersentak, seseorang di belakangku memanggilku. Aku menatapnya, ternyata seseorang itu adalah kak Ainun, "Kakak? Kakak sudah sholat?" tanyaku.

Dia mengangguk, "Iya Fa," jawabnya, lalu dia memegang bahuku, "Kakak senang, kamu bisa sedekat ini dengannya," ungkapnya sambil tersenyum yang terlihat sangat bahagia.

Aku membalikkan tubuhku, menghadap ke depan seperti semula. Tiba-tiba titisan air mata lolos melewati pipiku, aku mengusap air mataku dan menatapnya miris. Bukan sedih atas rasa cinta, namun aku sedih karena kak Ainun selalu bahagia untukku, sedangkan dia masih merasakan sakit yang amat luar biasa.

Aku pun langsung memeluk kak Ainun sangat erat, "Aku minta maaf kak, aku belum bisa jadi adik yang terbaik buat kakak." Kak Ainun hanya membalas pelukanku, "Kamu adalah yang terbaik."

Kak Ainun pergi meninggalkanku begitu saja, aku sudah tahu pasti dia akan pulang ke rumah dan menangis. Aku tidak bisa menghampirinya di situasi seperti ini. Aku pun memilih untuk segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat ashar berjama'ah.

Setelah melaksanakan shalat ashar berjama'ah, aku memilih untuk tetap di masjid sendirian. Sedangkan yang lain sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Aku duduk di atas sajadahku, menghadap kiblat sambil terus memegang tasbih. Jangankan untuk berdzikir, saat ini memompa air mata yang terus membendung dipelupuk mata pun sangat sulit.

Aku menengadahkan telapak tanganku dengan air mata yang terus mengalir bahkan menetes di kedua tanganku, aku berusaha untuk tetap berdoa. Ya Rabb, hanya Engkau yang mengetahui isi hati hamba, dan hanya Engkaulah yang mengatur segala takdir hidup hamba. Jika suatu hari hamba mendapatkan takdir yang sama sekali tidak hamba inginkan, hamba mohon kepada-Mu, buatlah hamba ikhlas dan kuat untuk menghadapinya.

Aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku dan segera membuka mukena yang kukenakan. Setelah semua beres, aku segera keluar dari masjid. Setibanya di luar masjid, aku segera memakai sendalku dan bersiap untuk pulang. Namun, disaat hendak melangkah, tiba-tiba tubuhku langsung tersentak kaget.

Di hadapanku, aku dihadapkan dengan seseorang yang baru saja kuperbincangkan di dalam hati. Raihan, dia yang berada di depanku saat ini. Masih dengan wajah yang sama dan sikap yang sama. Kemarin-kemarin dia menggenggam Iqro di tangannya, namun saat ini di tangannya bukanlah Iqro lagi -melainkan Juzz 'ama.

"Apa Iqromu sudah tamat, sehingga kamu berganti ke-Juzz 'ama?" tanyaku sambil terkekeh.

Dia menatap Juzz 'ama yang dia genggam, "Iya, kalau Iqro aku tidak bisa melihat terjemahnya. Tetapi kalau ini, aku bisa paham," ungkapnya.

Aku lantas langsung terkekeh karena ungkapannya, "Tapi Raihan, kalau kamu belum bisa menghafal huruf hijaiyah, kamu tetap tidak akan bisa membaca Juzz 'ama."

Dia pun ikut terkekeh, "Kata siapa aku tidak hafal huruf hijaiyah? Aku sudah hafal semuanya," tukasnya.

Sontak tawaku terhenti dan menatapnya serius, "Hafal?" tanyaku.

"Tentu, lihat saja nanti!" ujarnya, lalu dia masuk ke dalam masjid.

Aku sedikit bingung dengan sikapnya saat ini, Raihan sedikit ada perubahan dimataku. Tapi tidak, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku tidak mau lanjut memikirkannya, lebih baik aku segera pulang. Sesekali dibuatnya menangis, namun juga bisa dibuat tertawa. Entahlah, oh Allah, aku pasrah kepadamu.

💚💚💚

Alhamdulillah💕
Jangan lupa baca Qur'an hari ini😇

Antara Timur Dan Barat [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang