F ɪ ᴠ ᴇ

17K 2.4K 217
                                    


F ɪ ᴠ ᴇ :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

F ɪ ᴠ ᴇ :

Looks so fragile and weak
❤➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖





"Apa jawaban Renjun?"

"Dia menolak." Sicheng mendesah lelah, meletakkan kembali ponselnya diatas meja. "Bukankah sudah kubilang percuma saja bicara dengannya?"

"Kita perlu bersabarㅡ" Wanita paruh baya itu mengusap rambut putranya dengan senyuman kecil. Senyum yang menunjukkan sebuah kesedihan. "Dia selalu berpikir jika kami tak pernah saling mencintai sebelumnya. Tapi Renjun salah paham. Kalian berdua datang dari sebuah cinta. Kau percaya 'kan, Sicheng?"

Sicheng tersenyum. Mengusap punggung tangan ibunya dan tak lupa meninggalkan kecupan kecil diatas punggung tangannya.

"Aku percaya, ma." Senyuman tulus di wajah wanita itu perlahan mulai tercipta. Sebuah ucapan sederhana anaknya berhasil menyembuhkan sebagian dari lukanya. "Akan aku pastikan Renjun setuju untuk ikut makan malam. Aku rindu sekali menghabiskan waktu bersama-sama seperti dulu."

"Tapi jangan memaksanya, sayang."

"Tenang saja, ma. Renjun mungkin bisa menolakku di telefon, tapi dia tidak akan bisa menolakku jika berhadapan langsung."

"Playing with sibling card, huh?"

"You know me so well~"











🍹









Jeno tidak bisa duduk tenang di atas kursi belajarnya. Ia terus saja melamun dan memikirkan tentang sikap baik Jaemin pada Renjun.

Ia sadar betul, kekasihnya memang seseorang yang selalu mendahulukan orang lain, sifat peduli dan perhatian sudah menjadi sifat murninya, tetapi sikapnya pada Renjun seperti melebihi kadarnya.




Ia seperti merasa dejavu.






Hal itu membuatnya takut namun juga tidak takut dalam satu waktu.

Ia bingung.





Mungkin Jeno harus membicarakan hal ini pada Jaemin atau dia akan tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Membuatnya menyimpulkan hal-hal negatif yang tidak seharusnya.





[☑]『 ᴘʟᴇɪꜱɪᴜʀ 』Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang