Kim Seokjin itu sebenarnya bukan tipe orang yang sulit diganggu konsentrasinya. Sekali ada yang memanggil namanya meski sedang mengerjakan sesuatu, dia akan langsung menegakkan kepala ke sumber suara dan menjawabnya. Mau seketat apa konsentrasinya, Seokjin itu mudah diganggu.
Sebab itulah Seokjin mulai memakai earphone ketika sedang membaca atau menulis novel. Dia sadar dengan melakukan dua kegiatan itu, perhatiannya harus terus berpusat pada kegiatan itu saja. Tidak boleh ada satupun distraksi yang mengganggunya. Kalau tidak, pekerjaannya tidak akan selesai dan berakhir hanya nongkrong tanpa menghasilkan apa-apa.
Seokjin itu tipe orang pekerja keras dan tekun melakukan sesuatu. Pokoknya, kalau sudah menetapkan satu tujuan, tujuan itu harus sampai ke garis akhir. Seperti halnya ketika dia mulai mendedikasikan dirinya pada menulis. Sebagai lulusan sastra, Seokjin senang sekali setelah wisuda bisa bekerja di suatu penerbitan sebagai seorang editor. Dia juga terkadang menyelingi pekerjaannya dengan menulis karya sendiri. Tercatat sudah satu novel yang diterbitkan dengan nama 'KSJ'. Meski tidak terlalu berhasil, itu sudah lebih dari cukup dan Seokjin senang akan hasil kerja kerasnya.
Seokjin merasa membaca itu perlu jika ingin tetap bertahan sebagai editor. Pun terkadang dia bisa dapat inspirasi yang mungkin bisa ditulis untuk novelnya atau hanya sebagai konten di blog pribadinya. Jadi ketika Seokjin sedang libur atau tidak terlalu sibuk bekerja, dia akan membaca kurang lebih satu sampai dua bab buku bersama segelas kopi hangat di sebuah cafe dekat kantornya.
Kali ini Seokjin sedang membaca novel terjemahan dari novelis Inggris tentang kisah percintaan yang dibatasi oleh suku dan ras. Baru akan melanjutkan ke halaman lima belas, seseorang tiba-tiba menepuk-nepuk bahu Seokjin sedikit agak memaksa. Dia langsung menoleh ke belakang dan terkejut mendapati sahabatnya, Park Jimin sudah berdiri disana.
"Kau datang?" Seokjin bertanya sambil melepas earphone-nya, meletakkan benda itu di atas buku sebagai penanda bacaan.
"Lagi-lagi kau menggunakan itu. Jangan terlalu sering, hyung. Nanti telingamu rusak," omel Jimin sambil mendudukkan dirinya di kursi samping Seokjin.
Jimin kemudian meletakkan satu amplop coklat besar di atas buku Seokjin. Pria itu lantas mengambil amplop itu dan membaca nama pengirim di sana.
"Novelis baru, ya? Aku belum pernah membaca nama Kim Namjoon sebelumnya," ujar Seokjin sambil membuka amplopnya yang berisi satu naskah 30 halaman.
"Dia professor sastra yang sebenarnya sudah banyak menerbitkan buku-buku materi sastra untuk mahasiswanya. Beberapa bukunya ada yang tersedia di toko buku dan sering dijadikan buku referensi para pelajar. Tapi kali ini dia menulis fiksi. Kau sedang tak ada naskah lain untuk dibaca, kan?"
Seokjin menggeleng. "Kebetulan naskah penulis Jeon sudah aku kembalikan untuk dia lanjutkan. Meski topiknya agak kontroversial, tapi kurasa dia punya punya sesuatu yang lebih hebat untuk ceritanya itu. Jadi, aku senggang."
Seokjin lalu membalikkan halaman cover yang bertuliskan judul karya dan pengarangnya. Halaman pertama dan bab pertama tidak memiliki judul. Langsung diarahkan pada situasi ceritanya. Menarik sekali, karena di awal sudah disuguhkan permasalahannya. Tampak seperti itu adalah masalah utama, tapi tidak itu yang menjadi topik pembicaraannya.
Menarik sekali. Meskipun sudah banyak orang yang menggunakan gaya bercerita seperti ini untuk menarik perhatian pembaca, tapi Seokjin akui yang ini cukup segar untuk disuguhkan kepada pembaca. Seperti menumbuhkan kembali tren celana jeans longgar era tujuh puluhan, tapi dengan beberapa penambahan gaya agar terlihat baru.
"Tampaknya aku perlu menemui penulisnya agar bisa tahu bagaimana ceritanya berjalan," ujar Seokjin akhirnya setelah mengambil beberapa menit waktunya untuk membaca tiga paragraf naskah itu.
"Kenapa? Apa terlalu sulit dicerna?" tanya Jimin menolehkan kepalanya.
"Agaknya dia perlu membuat tatanan kalimatnya menjadi sedikit ringan jika ini mau diterbitkan. Kau bilang di professor sastra, kan? Tak heran kalau bahasanya seperti ini."
Jimin mengangguk-angguk saja karena itu memang tugas seorang editor. Dia perlu mengerti bagaimana maksud cerita yang ingin disampaikan sang penulis kalau ingin ini ditindak lanjuti.
"Tapi, Jim. Rasanya aku kenal siapa Kim Namjoon."
Jimin lantas mengernyit tak mengerti. "Kenal bagaimana?"
"Seperti aku pernah bertemu dengannya dan bicara beberapa kali," jawab Seokjin serius, meski sebenarnya dia tidak yakin dengan ucapannya.
"Nama itu tidak hanya dia yang punya, hyung. Bisa jadi ada empat atau lima nama yang serupa di seluruh Korea. Mungkin kau hanya salah mengira dengan orang yang berbeda tapi namanya Kim Namjoon juga," sergah Jimin sambil mengibaskan tangannya.
Seokjin terdiam. Mencerna ucapan sahabatnya yang entah bagaimana terdengar masuk akal, meski tidak ada data konkrit yang dapat membuktikan kebenaran ucapannya itu.
"Meskipun begitu, aku harus tetap bertemu dengannya," ujarnya final. Naskah tadi dia balikkan sampai ke halaman terakhir, letak data diri penulisnya dilampirkan.
Di sana tertulis data-data Kim Namjoon, beserta nomor telepon dan alamat web blog pribadi orang itu. Daftar karya yang sudah diterbitkan juga terbilang banyak dan semuanya nonfiksi. Jimin benar. Ini pertama kalinya untuk seorang Kim Namjoon menulis karya fiksi. Mungkin karena profesinya sebagai pengajar jadi dia lebih banyak mendedikasikan dirinya untuk menyebarkan ilmu dengan membuat buku tentang sastra.
Karena penasaran, Seokjin pun mengetikkan alamat web blog Kim Namjoon di ponselnya kemudian membuka tab baru untuk mencari foto Kim Namjoon. Melakukan dua pekerjaan dalam satu waktu.
Blog Kim Namjoon hampir semuanya berisi puisi dan ulasan tentang novel-novel yang sudah dibacanya. Sepertinya dia pria yang sensitif namun tenang.
Ketertarikan Seokjin akan penulis barunya itu bertambah ketika dia beralih ke tab lainnya yang telah menampilkan foto-foto Kim Namjoon.
"Jim, aku pergi sekarang menemui Kim Namjoon."
Jimin terkesiap melihat hyung-nya yang mendadak memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. "Kau tahu dimana dia sekarang? Kurasa kau perlu menghubunginya, hyung," ujar Jimin menyarankan.
"Tak perlu. Aku sudah tahu dimana dia. Sudah ya, Jim. Hubungi aku jika ada kau butuh sesuatu." Seokjin pun menepuk bahu Jimin lalu pergi sambil berlari kecil ke arah pintu keluar menuju mobilnya.
Dia langsung melesat pergi dengan mobilnya menuju Universitas S. Tempat dimana dulu Seokjin menempuh empat tahun pendidikan, dan juga menjadi tempat kenangannya bersama professor Kim Namjoon.
Sang pujaan hati.
[*]Hai~
Pertama, aku mau minta maaf kepada namjinist yang agaknya bosan ketika membaca ini. Tolong dimaklumi karena ini pertama kalinya aku menulis cerita mereka berdua. Gaya menulisku juga banyak terfokus pada deskripsi dibanding dialog. Tapi walaupun begitu aku akan berusaha agar cerita ini bisa berkembang seiring berjalannya waktu.Kedua, ini Angst. Siapkan hati ya :)
Ketiga, segala kesalahan mohon dimaafkan.
Terakhir, aku ini pemilik akun sinammey di twt. Mari berteman, namjinist^^
See you in the next episode~!
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] His Smile | Namjin
Fanfiction⚠️⚠️⚠️ NAMJIN IS A COUPLE IN THIS STORY!!!! IF YOU ARE A HOMOPHOBIC, LEAVE THIS AND GO AWAY!!!! (forgive me for any mistakes, bcs this is my first time writing BL's story^^) alpakakoala, 2019