10. The decision is...?

3.7K 539 20
                                    

Kim Seokjin

Kacau. Semuanya kacau.

Tak seperti yang kubayangkan sama sekali saat pertama kali professor memanggilku di kelas untuk menjawab pertanyaannya. Kupikir dia murni hanya ingin membantu nilaiku saja. Sekaligus ingin membuat suatu keakraban di antara mahasiswanya, seperti yang selama ini kudengar tentangnya.

Yang kudengar dari mulut ke mulut adalah professor Kim Namjoon yang mudah bergaul, penuh wibawa, punya tutur kata yang sopan, dan juga suka membantu mahasiswa. Membantu dalam artian memberikan banyak sumber bacaan untuk tugas esai dan juga terkadang mau membantu mencarikan jalan keluar untuk mahasiswa yang kesulitan mengerjakan skripsinya. Sebaik itu professor Namjoon sampai-sampai depan kantornya ramai dengan mahasiswa yang minta bimbingan. Tentu mahasiswa yang sudah membuat janji. Kalau tidak, mereka akan ditolak secara halus tentunya.

Aku bersyukur Pak Namjoon memilihku menjadi mahasiswa andalannya di setiap kelas. Dia bahkan berjanji akan membantuku mengerjakan skripsi nanti sekaligus mencarikan beasiswa kalau aku mau menjawab setiap pertanyaan yang dia lontarkan di kelas. Aku tentu mau. Itu yang aku cari sebelum memutuskan berkuliah di sini, wisuda dengan nilai baik dengan beasiswa di tangan. Pasti akan sangat membanggakan sekali untukku dan kedua orang tuaku.

Kemudian beliau memintaku untuk mengantarkan setiap tugas ke ruangannya. Awalnya aku menganggap dia mempermainkanku. Tapi setelah beberapa kali melakukannya, aku jadi tak keberatan sama sekali. Malahan terasa seperti rutinitas tambahan selain belajar di kelas. Pun aku hanya harus membawakan tugas, menyapa, dan pulang. Sederhana sekali.

Kemudian hal sederhana itu menjadi rumit untukku. Pak Namjoon mulai meminta sesuatu yang mengejutkan untukku. Dia mengajakku makan malam gratis dengan iming-iming membahas film kesukaanku, yaitu Parasite. Aku memang sudah tak tahan untuk membicarakannya dengan seseorang, tapi sayangnya temanku hanya Park Jimin. Dan anak itu tidak menontonnya karena sedang sibuk membuat laporan sampai kerjanya hanya kampus dan rumah kos.

Tapi ketika pak Namjoon yang mengajakku makan malam sambil berdiskusi, aku jadi ragu untuk mengiyakannya. Aku berpikir tidak seharusnya hubungan antara mahasiswa dan professor sampai sejauh itu. Pergi makan malam berdua, dan nantinya tak menjamin aku akan benar-benar dibawa pulang dengan aman sampai ke rumah kos. Terlalu berbahaya.

Namun sekeras apa aku menghindarinya, pak Namjoon terasa semakin dekat. Keberadaannya yang tidak kuharapkan malah muncul di tribun aula, duduk di sana dengan pakaian santai yang benar-benar tidak mencerminkan seorang professor. Tapi terlihat sangat...

...boyfriend material?

Ya, seperti itulah pokoknya.

Untuk beberapa saat aku mengutuk diriku yang melamun melihat penampilannya itu. Bahkan terbesit di pikiranku bagaimana dirinya kalau memakai kacamata juga. Pasti akan sangat manis.

Oke, aku mulai gila. Sadarlah, Kim Seokjin.

Dia seorang professor berumur tiga puluh akhir yang secara ajaib bisa berkamuflase menjadi mahasiswa senior jika sedang berkumpul dengan mahasiswanya. Wajahnya tidak menua sama sekali. Malah semakin bersinar dan semakin tampan. Berterima kasih pada kebiasaannya yang mudah tersenyum itu yang telah membantu memperlambat penuaan pada wajahnya.

Dari ujung rambut sampai ujung kaki, dalam maupun luar, professor Kim Namjoon itu adalah idaman setiap mahasiswi di fakultas. Dia adalah contoh nyata dari setiap imajinasi wanita tentang pria tampan, tinggi, baik hati, kaya, mapan, dan sukses. Dan Kim Namjoon lah orangnya.

"Memang. Aku kalau jadi hyung pasti akan menerimanya," timpal Jimin memotong ceritaku tentang pak Namjoon, kemudian memasukkan sesumpit daging setengah matang ke mulutnya.

"Tak mungkin, jim." Aku membalas perkataannya dengan nada sedikit sedih.

"Kenapa tak mungkin?" Dahi Jimin mengkerut mendengar ucapanku sambil membalikkan daging di atas pemanggang.

"Seperti yang kubilang. Dia itu incaran setiap mahasiswi. Kaya, tampan, tinggi, baik hati, dan sukses. Kim Namjoon hampir sama sekali tak bisa disandingkan denganku," jawabku sambil menekan-nekan kata-kataku secara agresif.

Jimin malah tergelak dan menggelengkan kepalanya. "Aku jadi penasaran bagaimana rupa asli professormu itu."

"Aku ada fotonya. Kau mau lihat?" Tanganku langsung mengambil ponsel dan membuka galerinya mencari satu foto yang kudapat dari salah satu teman sekelasku yang katanya tak sengaja mengirim ke kolom chatku.

"Kau punya fotonya tapi tidak dengan nomornya? Woah, kau mengagumkan, hyung!" seru Jimin menggodaku sambil menopang dagu dan mata menyipit menjadi dua garis.

Alih-alih menjawabnya, aku berpura-pura tak mendengar dan menunjukkan layar ponsel dengan foto Namjoon pada anak itu. Dengan cepat tangan anak itu mengambil ponselku dan meneliti fotonya dengan kedua mata kecilnya itu.

"Bagaimana menurutmu?" tanyaku setelah beberapa detik kubiarkan dia menatap foto itu.

"Biarkan aku mengenalnya, hyung. Ajak aku ke kampusmu. Aku mau berkenalan dengannya." Jimin mendadak merengek dengan melengkungkan bibirnya ke bawah, sambil membuat wajah sedih.

Tingkahnya membuatku memutar bola mataku malas. Ponsel di tangannya langsung kurampas kembali dan menguncinya. Bisa gawat kalau ponselku berlama-lama di tangannya. Nanti foto Namjoon tersalin ke ponselnya. Tidak boleh.

"Sana dekati saja senior putih pucatmu itu. Siapa namanya? Min Yoonji?"

Muka Jimin langsung berubah kesal mirip emoji (-_-). "Yoongi, hyung."

"Ah ya! Min Yoongi. Dekati dia saja. Kalian kan sama-sama anak seni. Pasti akan ada projek bersama jurusan lain. Gunakan kesempatan itu untuk mendekatinya."

"Iya, iya, hyung. Aku bisa mengurusi diriku sendiri nanti. Sekarang bukan itu pembicaraan kita. Kita lagi membicarakanmu yg belum menjawab professormu itu. Jadi bagaimana hyung?" tanya Jimin tak sabaran.

Aku tak segera menjawabnya meski Jimin menatapku lurus--hampir melotot--meminta aku menjawab segera. Jujur, aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada Pak Namjoon. Walaupun aku tahu jawaban 'tidak' tak akan berpengaruh apa-apa karena pria itu pasti akan lebih gencar lagi mendekatiku.

Seperti yang aku bilang, semakin aku menjauh malah terasa semakin dekat dengannya. Aku yang mengulur tali tanpa tenaga, malah ditarik sangat kuat dua kali lipat olehnya. Ingin lepas, tapi aku masih punya urusan dengannya. Nilai, beasiswa, dan skripsi nanti. Aku butuh semuanya sampai aku diwisuda.

Tiba-tiba Jimin mengetuk-ngetuk ujung sumpitnya ke meja dengan sengaja agar aku memperhatikannya kembali. "Begini saja, hyung." Dia lagi-lagi mulai memberikan saran padaku yang suka hilang arah ini.

"Ya, katakan, Jim."

"Hyung bilang butuh nilai bagus dan beasiswa, bukan?"

Aku mengangguk.

"Gunakan alasan itu untuk menerimanya, hyung."

"Tidak, tidak. Aku tidak akan menerimanya kalau itu alasannya."

"Dengarkan aku dulu, hyung." Jimin cepat-cepat memotong ucapanku dengan memerintahku untuk kembali mendengarkannya. "Coba pikirkan. Kau takkan rugi sama sekali kalau berpacaran dengan Kim Namjoon, hyung. Kau tidak hanya dapat nilai dan beasiswa. Mungkin kau bisa dapat lebih dari itu. Uangnya mungkin? Atau tumpangan gratis? Pikirkan dulu, hyung. Kuyakin kau takkan rugi!"

"Kenapa aku merasa kalau nanti aku yang akan rugi besar, ya?" gumamku curiga dan khawatir secara bersamaan.

"Kau bisa pergi kalau kau merasa akan dirugikan, hyung. Karena bukan kau yang memulai. Dia yang mendekatimu, dan kau punya hak untuk menjauh. Kusarankan kau coba pacaran dengannya dulu."

Aku terdiam. Semuanya jadi berantakan karena bercampur dengan kata-kata Jimin. Pelan-pelan Jimin mulai mempengaruhiku dan keyakinanku sebelum bicara tentang Namjoon pada Jimin perlahan hilang tak teringat lagi. Aku tak tahu harus bagaimana besok dan seterusnya.

"Oh ya, hyung. Ini bisa jadi cara yg jitu untuk melupakan orang itu. Kau tinggal gandeng tangan pak Namjoon dan dia akan menyerah mengganggumu. Menguntungkan, bukan?"

[*]

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang