39. Tears

2.7K 419 47
                                    

Sudah lima hari Seokjin tidak bicara sepatah kata pun dari mulutnya. Setelah dia sembuh dari demam, Seokjin berubah pendiam dan tak mau bicara. Saat diajak bicara pun dia hanya menundukkan kepala sembari menatap kosong lipatan selimut di atas kedua kakinya. Jimin khawatir sekali dengan keadaan senior kesayangannya yang berubah drastis tanpa sebab. Pun saat dia menemukan Seokjin dalam keadaan menggigil kedinginan karena demam, pria itu sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang penyebabnya. Dia jadi diam seribu bahasa.

Jimin lantas menanyakan kondisi Seokjin pada sang dokter. Sungguh melegakan bahwa demam yang sempat diderita Seokjin hanyalah demam biasa dan tidak berdampak apa-apa pada penyembuhan paska kecelakaan. Namun, sang dokter menduga ada sesuatu yang terjadi pada Seokjin sebelum dia mengalami demam, karena yang sakit bukanlah fisiknya, tapi psikologisnya. Seokjin seperti memaksakan dirinya untuk mengingat hal yang sulit diingat kembali dan berefek pada fisiknya. Tak hanya fisiknya yang lelah, tapi pikiran dan jiwanya juga.

Atas saran dokter, Jimin pun memberikan sebuah buku jurnal pada Seokjin dan memintanya menuliskan segala hal yang terlintas di kepalanya setiap waktu. Satu-satunya cara agar dokter dan Jimin tahu apa yang sedang dia resahkan akhir-akhir ini. Meski kemungkinan Seokjin akan menulis jurnal itu kecil--mengingat suasana hatinya sedang muram--Jimin tetap berdoa agar Seokjin mau menuliskan segalanya dengan sukarela.

Jimin sangat khawatir dengan kondisi Seokjin yang tampak sangat memburuk dari hari ke hari. Jadwal kepulangannya tampaknya akan diundur dari yang seharusnya jika melihat kondisinya sekarang. Seokjin tampak seperti mayat hidup. Memang mulutnya masih suka sibuk mengunyah makanan yang ada di atas meja, tapi itu hanya sebatas mengisi perut dan tak terasa sama sekali. Bahkan Jimin sering melihat Seokjin duduk di depan jendela, termenung dengan punggung melengkung layu dan terlihat tidak semangat. 

Jimin jadi teringat kata-kata neneknya dulu saat dirinya tidak mau pergi sekolah tapi tidak mau putus sekolah. Seperti hidup segan, mati tak mau.

Di keadaan yang seperti ini, Jimin menyayangkan keputusan Namjoon yang tak kunjung memberanikan diri datang menjenguk saat hari terang. Pria itu lebih memilih datang saat Seokjin sudah terlelap di saat hari sudah larut. Agaknya berterima kasih pada rasa peduli Jimin yang suka beberapa kali menginap untuk menjaga Seokjin. Jadi dia bisa bertemu secara tak sengaja dengan Namjoon yang baru saja keluar dari bangsal.

Mata mereka bertemu dan berhenti di tempat masing-masing sembari menatap satu sama lain dalam diam. Salah satu fakta yang tak pernah Jimin katakan pada Seokjin kalau dia sudah bertemu dengan Namjoon sejak hari pertama pria itu siuman. Dia juga tahu kalau yang membawa makanan adalah Namjoon, tapi dia sengaja menyembunyikannya karena permintaan Namjoon sendiri.

"Tolong rahasiakan dari Seokjin kalau aku yang selama ini memberikan makanan padanya. Juga jangan pernah katakan kalau aku mengunjunginya tiap malam. Aku mohon padamu, Jim."

Aneh memang. Namjoon itu pacar Seokjin, tapi kenapa dia tidak mau keberadaannya diketahui sama sekali?

"Apa Anda tahu kalau Seokjin hyung lupa ingatan, Pak?"

Namjoon mengangguk tanpa ragu. Tapi jawabannya membuat Jimin mengerutkan kening.

Bukankah aneh jika sang pacar sedang dalam masa kritis tidak bisa mengingat siapapun tapi si pasangan tidak ada di sampingnya? Berusaha untuk mengembalikan ingatannya saja tidak.

"Apa Anda tahu kalau Seokjin tidak ingat apapun tentang empat tahun ini?" tanya Jimin lagi masih berusaha tenang.

Namjoon sekali lagi mengangguk, yang malah membuat Jimin mengeratkan kepalan tangan di samping kiri kanan badannya. Dia berusaha untuk tidak memarahi Namjoon, karena bagi Jimin marah itu bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah. Bersikap tenang dan tetap menjaga sopan.

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang