18. Meat Restaurant

3.1K 469 50
                                    

Kim Seokjin
     
      
     
    
Tanpa sadar pintu kantor pak Namjoon terbanting kuat sampai menimbulkan bunyi berdebam yang cukup keras. Aku sempat terhenyak mendengarnya, tapi langsung berjalan menjauh dari kantornya sebelum pak Namjoon bisa menarikku lagi. Tapi dugaan itu seperti tak beralasan sama sekali karena dia tidak mengejarku dan meminta maaf. Sia-sia sekali aku mengharapkannya keluar dari kantor menyebalkan itu dan berlutut sambil menyesali perbuatannya.

Oke, aku tak seharusnya berharap berlebihan seperti itu. Persetan dengan bayangan romantisku akan pak Namjoon yang suka melakukan hal-hal di luar dugaan.

Satu hari ini aku pun tak masuk kelas sama sekali. Tak hanya kelas pak Namjoon yang ada di jam pertama dan kedua. Tapi semua kelas sampai sore menjelang. Aku merasa sangat hebat sudah membolos, mengingat aku adalah mahasiswa baru dan tak seharusnya mencoba bolos sampai seharian. Apalagi aku punya tugas mengantarkan tugas mahasiswa ke kantor pak Namjoon.

Hih. Mengingat namanya saja membuatku muak.

"Aku ingin tahu kenapa kau marah sekali padanya, hyung." Jimin melipat kedua tangannya di atas meja yang membuat badannya agak condong ke depan. Pun matanya memandangku lemah dan bersimpati secara bersamaan.

Sekarang kami berada di rumah daging, sedang memanggang daging sapi ditemani beberapa botol soju yang belum tahu apakah akan habis atau tidak. Jimin memesan semua soju itu. Bertingkah seperti dia yang mengundangku minum-minum padahal dia di sini sekarang untuk mendengar ceritaku. Yah, setidaknya dia sudah ada di sini dan rela mengorbankan satu harinya untukku.

"Dia mencuri cium dariku."

Jimin langsung melotot kaget. Tangannya bergerak cepat menutup mulutnya, sangat terkejut sampai-sampai dia terbata-bata sendiri mau mengatakan apa.

"Tapi, dia itu--"

"Iya. Dia mengingatkanku padanya, makanya aku marah."

Bahu Jimin perlahan merosot lemah. Matanya sedih menatapku dengan mulut yang melengkung ke bawah. Pun tangannya yang kecil mengangkat gelas kecil yang sudah penuh dengan soju dan meneguknya dalam sekali teguk. Dia tampak lebih frustasi daripada aku. Yang mengalami siapa, yang kesal siapa.

"Tak usah mengasihani aku. Mungkin sudah takdirnya aku bertemu dengan orang-orang sepertinya, dan pak Namjoon adalah salah satunya," ujarku tenang tanpa menatap Jimin yang kini menatapku penuh simpati. Aku tidak peduli dan terus membalikkan daging-daging di atas pemanggang.

"Aku sudah tahu yang mana pak Namjoon itu," kata Jimin serius.

Kuangkat mataku dan menatapnya sekilas, kemudian tertawa miring. "Oh ya? Kau bertemu dengannya?"

"Aku bertemu dengannya saat acara kemarin. Dia menontonmu dari lantai dua."

"Kenapa kau tidak menghampiriku setelah acaranya selesai?"

"Mendadak aku dapat panggilan dari tempat aku mengajar les tari. Mereka mewawancaraiku lewat telepon dan itu makan waktu satu jam. Saat aku datang, kau sudah tak ada, hyung. Jadi aku pulang saja."

Aku pun mengangguk lalu menyuapkan dua potong kecil daging ke mulutku tanpa menggunakan selada. Jimin lagi-lagi meneguk sojunya dengan cepat. Padahal rasanya keras sekali dan membakar tenggorokan tapi dia berani sekali meneguknya seperti itu.

"Hati-hati nanti tenggorokanmu terluka."

"Hyung bilang apa lagi pada pak Namjoon? Kau tidak cerita tentang dia 'kan?" tanya Jimin mengabaikan ucapanku yang sebelumnya.

Aku pun menggeleng. "Untuk apa? Dia bukan siapa-siapaku."

"Tapi, dia butuh tahu kenapa kau harus sampai sekeras ini padanya. Dia hanya tidak tahu makanya dia seperti itu, hyung."

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang