31. Jimin said.....

4.4K 460 46
                                    

"Jim, aku melakukan itu bersama pak Namjoon kemarin."

"H-hah?"

Seokjin terdiam sembari menatap temannya dengan pandangan gamang dan takut. Dia sudah menduga kalau Jimin pasti akan terkejut. Tapi seharusnya tidak akan seterkejut itu 'kan. Toh, Seokjin sudah mengiriminya pesan kalau dia akan menginap di tempat pak Namjoon. Apa anak itu tidak punya bayangan tentang apa yang akan dilakukan dua pria dewasa, berdua saja, di tengah hujannya malam, tanpa pengawasan siapapun? Apa benar Jimin sepolos itu?

"Aku tidak menyangka kalian akan melakukannya secepat itu, hyung." Jimin mengambil selembar tisu dari dalam kotak dan menyeka mulutnya yang belepotan kuah sup.

Seokjin semakin malu dan menyesal sudah membuka aibnya pada satu-satunya sahabatnya yang ternyata polos sekali. Padahal wajahnya sama sekali tidak mencerminkan kepolosan. Jangan lupakan bagaimana mata sayunya ketika bicara dengan siapapun dan senyum tipis yang seperti sedang menggoda itu. Dia harus lihat bagaimana seksinya wajah itu sampai orang-orang akan berpikiran yang tidak-tidak padanya.

"Apa pak Namjoon yang memulainya?" tanya Jimin berusaha tampak biasa saja kemudian meneguk minumannya.

Seokjin mengangguk dengan kepalanya yang tertunduk, kemudian mengangkat pandangannya untuk melihat reaksi Jimin selanjutnya. Pria itu menatap dua detik ke arah Seokjin dengan mulut yang penuh dengan sup, meninggalkan persepsi aneh karena dia tidak berkata apa-apa setelah menatapnya seperti itu.

"Kalian pakai pengaman?"

"Aku tidak akan hamil. Aku pria."

Jimin mengangguk-angguk setuju. "Tentu. Memang lebih baik tidak pakai karena rasanya sangat berbeda."

Oke, tarik kembali kata-kata yang mengatakan Jimin itu polos.

"Jadi, bagaimana pendapatmu?" tanya Seokjin sedikit lega melihat temannya yang tidak memberikan reaksi berlebihan lagi seperti di awal tadi.

"Yah, aku tidak masalah, sih kalian melakukan itu. Toh, kau tidak akan hamil, hyung." Jimin pun tergelak karena kata-katanya sendiri.

Reaksinya benar-benar membuat Seokjin senang sekaligus lega. Selama di perjalanan pulang, dia cemas bukan main membayangkan reaksi apa yang akan Jimin berikan. Memang sih, Jimin tidak bertanya apa-apa perihal acara menginap di rumah pak Namjoon. Tapi entah kenapa rasanya jika sudah di depan Jimin, maunya bicara apa saja. Sampai membicarakan aib pun rasanya tidak masalah.

Terbesit penyesalan kenapa Seokjin terlalu terbuka pada Jimin yang jelas-jelas baru dia kenal selama satu tahun ini. Mereka belum terlalu dalam mengenal satu sama lain, tapi sudah tak terhitung berapa banyak cerita rahasia yang Seokjin bongkar padanya secara cuma-cuma.

Jimin tampaknya juga sudah banyak hal yang dia sampaikan, tapi Seokjin tak tahu mana yang rahasia dan mana yang hanya sekedar cerita pemanis hidup yang sekedar lewat begitu saja. Rasanya seperti Seokjin memiliki hutang cerita setiap kali Jimin menceritakan sesuatu yang dimulai dengan kata "Kau tahu, hyung? Aku blablabla...".

"Jadi, apa kalian akan melanjutkan ke jenjang berikutnya, hyung?" tanya Jimin sembari menyandarkan punggungnya pada punggung kursi.

Kening Seokjin mengkerut bingung. "Jenjang apa?"

Sontak Jimin terkejut. "Kalian melakukannya tanpa perencanaan apa-apa? Begitu saja? Oh, tidak. Aku sepertinya salah memberikanmu kepada pak Namjoon." Jimin mengakhiri keterkejutannya dengan erangan kecewa sembari memprotesi dirinya yang dianggapnya tak becus menjaga teman terbaiknya dengan benar.

Semakin mengkerutlah kening Seokjin saat mendengarnya. Dia mencondongkan tubuhnya dengan kedua tangan terlipat dan menumpu di atas meja. Kilat matanya terlihat tajam karena Jimin yang tiba-tiba mengatakan hal aneh yang tidak dia mengerti.

"Apa kalian serius saat mengatakannya tidak mengatakan rencana-rencana selanjutnya? Bahkan saat bangun pagi?" tanya Jimin pada Seokjin yang dibalas dengan anggukan kencang.

"KUPIKIR KALIAN AKAN MENIKAH!" pekik Jimin frustasi.

Bukan hanya Seokjin yang terkejut dengan ucapannya. Semua pelanggan dan juga staf yang berada di kedai sup Korea ini juga menoleh kepada kami sembari menatap bingung sekaligus terganggu. Seokjin sampai harus berdiri dan memberikan bungkukan meminta maaf pada orang-orang, setelah itu kembali duduk.

"Kau apa-apaan, sih, Jim? Tidak berteriak 'kan bisa!" omel Seokjin dengan suara pelan, tapi ditekan-tekan di setiap katanya. "Memang apa salahnya kalau kami melakukannya tanpa adanya pemikiran untuk menikah? Toh, aku tidak akan memberikannya keturunan, Jim. Apa salahnya?"

"Itu yang salah, hyung!" pekik Jimin tertahan. Dia frustasi dengan matanya yang membulat sambil telunjuknya menuding dengan cepat. "Kalian melakukannya secara cuma-cuma. Aku masih akan menganggapnya kalian melakukan itu karena sama-sama butuh sesuatu. Hyung butuh nilai dan bantuan beasiswa dari pak Namjoon, dan beliau butuh hyung karena memang dari awal dia hanya ingin tahu bagaimana rasanya memilikimu seutuhnya. Tidak hanya dari luar, tapi juga yang di dalam. Kalau kalian tetap tidak mengatakan apa rencana kalian setelah itu, aku akan tetap menanamkan pemikiran itu dalam kepalaku, hyung."

"Ingat. Kalian bukan lagi anak-anak yang penasaran bagaimana rasanya bersetubuh karena tidak sengaja melihat video porno di ponsel. Kalian sudah dewasa, apalagi pak Kim yang sudah sangat matang. Tapi, mendengar hyung mengatakan tidak adanya rencana setelah bermalam, aku agaknya kecewa dengan pak Kim yang ternyata belum dewasa sama sekali. Maafkan aku, hyung."

Jimin agaknya membuat Seokjin terdiam, tenggelam pada pikirannya tentang pak Kim dan rencana selanjutnya setelah mereka menghabiskan malam penuh keringat dan gairah di dalam kamar pada saat itu.

Jujur saja, selama bersama pak Kim, Seokjin jarang sekali memikirkan bagaimana hubungan ini akan berlanjut. Dia merasa berada di sebelah pak Kim saja sudah cukup baginya. Urusan yang lainnya bisa belakangan seiring berjalannya waktu. Yang terpenting bagi Seokjin ya hanya berada di samping pak Kim saja. Itu sudah lebih dari cukup.

Kalimat-kalimat Jimin terus berputar-putar jelas di kepala Seokjin layaknya dialog menggelikan antara Romeo dan Juliet ketika mereka saling mengatakan perasaan cinta satu sama lain. Teringat jelas di kepala Seokjin, sampai-sampai dia tidak dengar apa yang diucapkan pak Kim. Dia harus menyentuh tangan Seokjin yang berada di atas paha agar pria itu tersadar dari lamunannya. Seokjin menoleh dengan mata membulat dengan ekspresi kelewat jelas bingung harus bereaksi apa.

Pak Kim tersenyum menampilkan lesung pipinya yang dalam itu. "Kau dengar apa yang kukatakan barusan, Jin?" tanyanya lembut meski harus menahan kecewa karena Seokjin jelas tidak menyimak bahkan satu kata pun ucapannya tadi.

"Maaf, Pak." Seokjin berujar lirih menunduk malu.

"Tidak apa-apa. Kau terlihat sedang banyak pikiran," ujar pak Kim kemudian menjalankan mobilnya kembali.

Seokjin buru-buru menyanggah. "Tidak, Pak. Saya hanya terkejut dengan kata-kata Bapak tadi. Karena terlalu tiba-tiba."

"Oh ya?" tanya pak Kim menggodanya sambil menoleh sekilas. "Jadi sebutkan kata-kata apa yang membuatmu sampai tertegun seperti itu."

Seokjin terdiam. Bodoh sekali sudah mengatakan dia tahu sesuatu sementara pak Kim sudah memergokinya tidak fokus sejak mereka berdua masuk ke dalam mobil. Tidak ada satupun kata yang dia ingat, dan dengan beraninya Seokjin dia tertegun karena kata-katanya. Bodoh.

Pak Kim tertawa kecil melihat pacarnya kecewa dengan dirinya sendiri sembari memajukan bibir bawahnya. Pokoknya setiap hal yang dilakukan Seokjin selalu menggemaskan di matanya. Apapun itu.

"Beruntung kau punya wajah manis jadi kau bisa kumaafkan tanpa harus mengemis minta maaf dulu." Pak Kim membuat gerakan memutar kemudinya dan masuk ke dalam area kampus menuju tempat parkir fakultas.

"Terima kasih, Pak," ujar Seokjin lega dengan suara lirih. "Memangnya apa yang Bapak katakan tadi?"

Mobil tepat berhenti di salah satu lot parkir kosong. Mesinnya dimatikan dan Pak Kim melepas sabuk pengamannya sebelum memutar setengah badannya agar bisa berhadapan dengan Seokjin. Matanya menatap lembut dengan pipi sedikit memerah. Tawa kecilnya terdengar malu-malu sebelum mengatakan satu kalimat yang bisa dibilang adalah rangkuman dari seluruh perkataannya tadi.

"Ayo kita menikah."
          
           
         
[*]

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang