19. Sandwich

3K 471 32
                                    

Kim Namjoon
     
     
     
      
Dua hari setelah pertengkaranku dengan Seokjin, hubungan kami seperti kembali ke titik nol. Layaknya permainan, aku seperti kembali ke level pertama akibat salah memilih jalan yang kupikir adalah jalan keluarnya.

Seokjin kembali bersikap dingin padaku. Dia datang dengan mengetuk pintu, masuk memberi salam dengan bungkukan, kemudian menaruh tumpukan tugas di atas mejaku dan pamit pergi dengan bungkukan juga. Dia memang seperti itu, tapi tatapannya terus menatap ke bawah. Seolah-olah dia tidak mau melihatku. Padahal aku terus memperhatikan gerak-geriknya dari mulai membuka pintu dan pergi meninggalkan kantor. Sedih rasanya. Seperti tak dianggap.

Benar kata Taehyung. Aku terlalu gegabah mengambil tindakan. Padahal aku dan Seokjin belum terlalu dekat. Tapi aku sudah kepalang senang saat kupikir Seokjin mulai menyukaiku. Aku terlalu bersemangat untuk memberikan semua afeksiku padanya sampai aku lupa kalau sebenarnya Seokjin belum sepenuhnya menerimaku.

Aku menyukai tatapannya yang lembut itu ketika sedang bicara denganku. Masih kuingat bagaimana bulatnya mata Seokjin saat dia bicara banyak hal ketika makan. Masih terngiang suaranya yang lucu itu ditambah dengan efek-efek suara ketika mulutnya mengecap dan berdehem memuji rasa makanannya. Jangan lupakan bagaimana senyum pertamanya. Tidak ada yang sesempurna Seokjin bahkan untuk hal-hal kecil saja.

"Mendengar ceritamu ini, aku yakin Seokjin punya cerita masa lalu yang menyakitkan sampai dia trauma membuka hati. Tapi dia tidak cerita apapun 'kan tentang ini? Jadi aku tak bisa menyalahkan siapapun, hyung. Kau juga salah karena semangatmu menjadikan Seokjin milikmu sampai kau lupa menanyakan batasanmu padanya. Dan Seokjin juga salah karena dia marah padamu, sementara di sini kau tidak tahu apa-apa."

"Jadi aku harus bagaimana?"

"Yaaa, tidak ada. Menunggu, mungkin? Kalau sudah begini jadinya kau hanya perlu menunggu mukjizat kembalinya Seokjin yang ceria."

Taehyung seharusnya tahu kalau menunggu itu tidak enak sama sekali.

Apalagi yang ditunggu itu adalah Kim Seokjin. Manusia yang menutup dirinya dari dunia, padahal sebenarnya dia ingin sekali keluar dari kukungan.

"Kim Seokjin."

Yang dipanggil langsung berbalik tanpa ragu. Wajahnya tampak baik-baik saja, tapi aku bisa melihat bagaimana malasnya tatapan itu saat menatapku. Bahkan bahunya terlihat agak turun dari yang biasanya. Sangat-sangat tak berniat meladeniku sekarang, sampai seterusnya.

"Aku minta maaf."

Mata Seokjin terbelalak lebar meski pergerakannya samar terlihat. Dia terkejut dan tampak tertarik dengan ucapanku selanjutnya. Pun dia sepertinya tampak tak percaya aku akan minta maaf meski harus menunggu agak lama.

"Saya menyesal sudah terlalu lama mengambil waktu hanya untuk mengatakan 'maaf' saja."

"Tidak, pak." Seokjin buru-buru memotong. "Ada pepatah yang mengatakan 'tak apa terlambat daripada tidak sama sekali'. Saya senang Bapak akhirnya meminta maaf."

Satu senyuman samar mengembang di kedua sudut bibir Seokjin. Lega sekali melihatnya tersenyum seperti itu. Bebanku seperti terangkat ke udara dan terbang membaur bersama angin. Padahal senyuman itu bisa berarti banyak, tapi aku yakin sekali senyumannya itu tulus. Dia benar-benar memaafkanku.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi padamu sebelumnya. Tapi, saya tidak akan melakukan apapun lagi yang sekiranya bisa membuatmu marah kembali. Maafkan saya."

Cahaya di wajah Seokjin perlahan berubah terang. Bahunya bergerak terangkat bersamaan dengan kepalanya yang mengangguk bersama satu senyum di bibir.

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang