9. Churros

4K 611 54
                                    

Kim Namjoon

Terhitung sudah tiga hari aku 'menemani' Seokjin latihan.

Bertanda kutip, ya. 'Menemani'.

Soalnya, aku datang tak diundang ke aula tempat mahasiswa pengisi acara latihan dari pagi sampai malam. Seokjin awalnya terkaget-kaget melihatku sudah duduk di salah satu tribun yang sama seperti aku datang pertama kalinya. Dia bilang aku penyebab semua orang yang ada di aula ini curiga kalau dia punya hubungan denganku. Aku pun dengan santainya mengatakan seperti ini:

"Bukankan itu bagus? Kalau kita benar-benar nanti ada hubungan, saya tidak perlu menutupinya sampai capek."

Profesiku sebagai seorang professor menjadikan diriku sebagai orang yang suka beragumen dan beradu pendapat demi mendapatkan suatu kesimpulan yang sama-sama disetujui kedua belah pihak. Kalau aku belum mendapatkan itu, aku tidak akan pernah menyerah sampai kapan pun. Tak peduli sampai argumennya alot dan hambar.

Dan itu yang sedang kulakukan pada Seokjin. Ketika aku mengatakan hal itu padanya, dia langsung mencak-mencak akan melaporkanku pada dosen pembimbing akademiknya tentang perilakuku. Kembali dengan tenangnya kukatakan seperti ini:

"Saya pikir sekarang standar pelecehan dalam bentuk verbal sudah sangat tinggi sampai mengatakan hal itu saja saya bisa dilaporkan. Coba kita pikirkan kembali. Apakah saya pernah menyentuhmu? Mengatakan hal-hal seksual yang tak pada tempatnya? Atau membuatmu malu dengan mengatakan sesuatu tentang tubuhmu di tempat umum? Atau mungkin saya pernah mengirimimu pesan atau foto vulgar? Ah, kita belum bertukar nomor jadi kemungkinan yang terakhir sama sekali tidak berguna. Tapi, coba pikirkan. Apakah saya pernah melakukannya setidaknya sekali?"

Seokjin tentu terdiam. Dia sudah membuka mulutnya, tapi kembali ditutup saat dirasa jawabannya tak berguna sama sekali untuk melawanku. Dengan tenang aku menunggunya bicara sambil tersenyum lebar, sampai lesung pipiku keluar, yang malah terlihat sangat menyebalkan di matanya. Anak itu lagi-lagi menahan amarahnya dan memilih meninggalkanku tanpa mengatakan apa-apa. Telinganya yang merah membuatnya semakin lucu dan semakin membuatku ingin terus menjahilinya.

"Semangat, Kim Seokjin!" seruku dengan tampang tak berdosa yang sama sekali tak ditanggapi olehnya.

Tak masalah untukku. Kuyakin dia pasti dengar. Dia hanya lelah meladeniku yang menurutnya semakin menyebalkan.

Meski aku menikmatinya, terkadang terbesit di otakku tentang dia yang akan membalas dendam kepadaku. Mungkin seperti menyebarkan gosip tidak benar tentangku, atau bahkan malah dia yang akan membuat rumornya sendiri. Seperti berpacaran dengan mahasiswi cantik dari kelasku sendiri. Aku lebih memilih dapat rumor tidak bagus daripada melihatnya menggandeng orang lain di kampus.

Jika kuperhatikan dengan seksama, Seokjin itu memang tidak banyak bicara. Dia pendiam sekali meski berada di lingkaran teman-temannya. Dia lebih banyak mendengarkan dan sedikit menanggapi seperti tertawa dan mengangguk-angguk. Satu hal yang paling menyenangkan juga paling menyedihkan yang sering kulihat dari Seokjin adalah senyumannya.

Dia sering sekali tersenyum pada teman-temannya, tapi tidak pernah menunjukkan itu padaku. Dia lebih banyak menggerutu pada professornya sendiri dan menganggapku pengganggu daripada teman-temannya itu. Padahal seharusnya dia berbaik-baik padaku agar nilainya selamat. Tapi sepertinya mahasiswa sekarang tidak takut sama sekali pada gurunya, termasuk Kim Seokjin.

Ah, iya! Dia pernah tersenyum saat membicarakan dirinya di restoran beberapa hari yang lalu. Senyumannya tipis sekali seperti tidak tersenyum.

Mendekatinya ternyata sangatlah sulit. Layaknya permainan, aku harus memikirkan banyak strategi untuk mendekatinya. Masih menjadi misteri, harus dengan apa untuk menarik perhatiannya. Seokjin jelas terlihat bukan orang yang akan dengan cepat luluh hanya dengan sebuket bunga. Dan dia juga bukan tipe orang yang akan langsung bertekuk lutut ketika kuberikan barang-barang mewah. Seokjin itu sederhana, tapi terlihat sangat mewah dan berkelas. Harus dengan cara yang elegan pula untuk mendekatinya.

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang