Kim Seokjin
"Ini, Pak. Berkas persyaratannya."Kusodorkan satu amplop coklat berukuran besar kepada pak Namjoon setelah menaruh tugas-tugas di mejanya. Dia langsung mengambilnya dan membukanya. Matanya meneliti isi tulisan di dokumenku kemudian mengangguk sambil memasukkan kembali dokumennya ke dalam amplop.
"Kusimpan, ya. Nanti akan kuberikan ke kantor pusat," ujarnya menunjukkan dokumennya padaku sebelum disimpan di dalam laci meja paling bawah dan menguncinya.
Kutundukkan kepalaku memberinya salam dan berkata terima kasih. Pak Namjoon mengangguk tanpa menatapku dan tak mengatakan apa-apa lagi. Membiarkanku keluar dengan penuh kebingungan dan kening mengkerut.
Sikapnya tadi membuatku berpikir banyak tentang segala kemungkinan yang mungkin tak sengaja kuperbuat tapi membuat hatinya tak suka. Malah seharusnya aku yang marah kepadanya karena sudah menciumku tiba-tiba kemarin. Aku bahkan tidak mendengar kata maaf. Tapi kenapa malah terasa aku yang berbuat salah?
Sandeul menepuk bahuku sampai aku berjengit kaget, tersadar dari lamunanku, setelah tak ada jawaban saat dipanggil berkali-kali. Dia mengisyaratkan dengan tangannya kalau sesi latihan sudah selesai dan orang-orang mulai meninggalkan aula. Aku buru-buru mengangguk dan membenani barang-barangku--dan gitar. Kemudian berjalan berdampingan dengan Sandeul sampai ke depan gerbang utama universitas.
Sesampainya di rumah kos, aku mendapati Jimin yang duduk di depan pintuku dengan kaki terlipat, tertidur dengan kepala mengangguk-angguk dan mata tertutup. Aku mendengus tertawa melihatnya dan menghampiri anak itu. Kutepuk bahunya sampai dia terbangun. Jimin terkejut melihatku datang dan langsung bangun.
"Kau lama sekali, hyung," gerutunya lalu menguap.
Aku meliriknya sekilas lalu memasukkan kunci dan membuka pintu. Jimin langsung masuk secepat tikus dan membuka sepatunya asal. Kebiasaan yang menjengkelkan karena aku yang harus merapikannya ke tepi. Jimin sudah menelentangkan dadanya di atas sofa tanpa melepas jaket denimnya.
"Biarkan aku menginap malam ini, hyung. Aku lelah sekali bolak-balik rumah kos dan kampus di jam segini," ujarnya lirih.
"Pindah saja, Jim. Atau kau mau tinggal bersamaku? Kita bagi dua uang sewanya."
Jimin langsung menegakkan badannya dan duduk melipat kaki di atas sofa. Matanya langsung terbuka lebar seperti habis mencuci muka. "Serius, hyung? Kau mau tinggal bersamaku?" tanyanya tak percaya.
Aku tersenyum miring, dan mengangguk. "Sewa, air, listrik, kita bagi dua. Kebutuhan bulanan kita tanggung masing-masing."
"Kebetulan minggu ini minggu terakhirku tinggal di sana. Aku memang berencana mau mencari rumah baru. Dan hyung menawarkan pada saat yang tepat," kata Jimin bersemangat.
"Pindahlah sebelum minggu agar aku bisa membantumu."
"Memangnya ada apa dengan minggu? Kau ada kencan dengan pak Namjoon, ya?" Jimin malah mendadak menggodaku dengan wajah menyipit usil itu.
Tatapanku langsung menajam kepadanya. "Aku jadi salah satu pengisi acara di kampusku dan penampilanku dijadikan sebagai penutup acara di malamnya. Aku memang tak perlu datang pagi-pagi sekali, tapi aku juga tak bisa meninggalkanmu merapikan barang-barang sendirian. Sabtu saja."
Jimin terharu mendengarnya sampai ingin menangis rasanya. Menangis bahagia. "Hyung, kau memang yang terbaik." Jempolnya teracung ke depan dengan semangat.
"Berlebihan," ucapku dan tertawa mendengus. "Kau sudah makan?" tanyaku sambil melihat isi lemari pendingin lalu berpikir makanan apa yang bisa kubuat untuk makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] His Smile | Namjin
Fanfic⚠️⚠️⚠️ NAMJIN IS A COUPLE IN THIS STORY!!!! IF YOU ARE A HOMOPHOBIC, LEAVE THIS AND GO AWAY!!!! (forgive me for any mistakes, bcs this is my first time writing BL's story^^) alpakakoala, 2019