7. Our lunch

4.5K 635 20
                                    

Kim Namjoon
      
        
      
Sebelum makan siang, aku dan Seokjin pergi memesan pizza dulu untuk mahasiswaku yang sedang sibuk di kampus mempersiapkan acara untuk minggu depan. Kupesankan banyak loyang ukuran besar dan mengirimnya ke alamat kampus dan aula. Seokjin sampai tertegun melihatku yang rela menghabiskan banyak uang tak seperti biasanya.

"Pak, apa ini termasuk sogokan?" Seokjin mendelik curiga sambil bersedekap di depan dada. Seolah aku ini adalah pendusta yang telah melakukan kebohongan besar hanya untuk menarik perhatiannya saja.

"Untuk?" tanyaku pura-pura tidak tahu sambil menoleh ke arahnya.

"Untuk teman-temanku. Anda membelikan makan siang untuk mereka agar mereka melupakanku dan anda bisa bersama saya tanpa perlu khawtir. Benar begitu 'kan, Pak?" Dia menyipitkan matanya sambil berkata sinis yang malah terlihat menggemaskan di mataku.

Aku pun iseng menepuk bahunya dua kali dan tersenyum sampai lesung pipiku terlihat. "Kau tajam juga rupanya. Aku suka orang sepertimu. Tak perlu repot-repot menjelaskan dan kau bisa tahu semuanya sendiri."

Kemudian aku meninggalkannya menuju kasir untuk membayar pesananku sekaligus meninggalkan Seokjin yang mengernyit dalam. Dia bingung dengan konteks kata 'suka' yang tadi kuucapkan. Dan dia juga tak tahu harus menganggap ucapanku itu sebagai pujian atau sekedar basa-basi. Professornya ini penuh misteri sekali.

Setelah membayar, kami kembali ke mobil dan bergegas pergi ke tempat makan siang kami yang sebenarnya. Letaknya tidak terlalu jauh. Tapi karena Seokjin yang lebih memilih diam menatap jalanan di luar lewat kaca jendela, membuat perjalanan kami terasa begitu panjang.

Aku juga bingung mau membicarakan apa dengannya. Rasanya seperti tak ada topik yang ingin kubicarakan sekarang. Padahal ketika di kelas, banyak sekali hal yang bisa kuangkat sebagai topik pembicaraan. Kami bicara layaknya hanya berdua di ruangan yang penuh manusia itu. Tapi ketika hanya berdua seperti ini, kami layaknya manusia yang berada di keramaian sampai suara pun tak bisa didengar.

Lucu memikirkannya sampai aku kelepasan tertawa lirih di kursiku sendiri. Seokjin langsung menoleh, menatapku lurus seolah bicara dengan matanya, bertanya-tanya ada apa dengan diriku. Aku sadar akan reaksinya itu dan buru-buru menjelaskan sampai tergagap sendiri.

"K-kau tak menganggap keadaan kita sekarang ini lucu?" tanyaku.

Seokjin langsung menggeleng cepat dengan dahinya yang mengernyit bingung.

"Saat dikelas kita banyak bicara tapi ketika berdua seperti ini malah tidak ada satu kata pun yang keluar. Bukankah itu lucu?" tanyaku yang lebih memintanya untuk paham dengan pertanyaanku di awal tadi.

Seokjin lagi-lagi menggeleng, memprotes perkataanku dengan sangat jujur. "Itu kan karena Bapak yang memanggil saya untuk bicara di kelas. Pun saat saya ke kantor Bapak, saya hanya mengucap salam saat datang dan pergi. Apa seharunya kita bicara juga saat di luar kelas, Pak?"

Oke, dia ternyata orang yang terlalu berterus terang tentang apa yang dia pikirkan. Sejenak aku dibuat diam tak tahu harus menjawab. Tapi seulas senyum mengembang di bibirku, seolah menikmati bagaimana kami bertindak satu sama lain sekarang. Layaknya tarik-ulur, aku yang menarik dan dia yang mengulur. Asik juga.

"Bukankah seharusnya seperti itu? Saya memanggilmu di kelas dan di kantor ada tujuannya. Tidak sembarang mahasiswa bisa menjalin hubungan spesial dengan saya, kalau kau mau tahu."

Dahi Seokjin mengerut semakin dalam sampai matanya menyipit. Melihatnya berpikir keras tentang perkataanku yang punya banyak makna, dilihat dari bagaimana dia mencernanya. Aku sampai harus menahan tawa melihat wajahnya itu. Bersama Seokjin membuatku tak tahan untuk menggodanya terus dan terus. Sampai rasanya ingin membuat anak itu kesal dan merengek seperti waktu dia memintaku berhenti memanggilnya di kelas.

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang