2. Meet Again

9.1K 971 29
                                    

Seokjin kini sudah berada di depan pintu kelas A3, tempat Kim Namjoon sedang mengajar. Berterima kasih pada seorang mahasiswa yang hendak keluar dari gedung fakultas yang telah memberi tahu dimana sang professor mengajar. Dia lebih berguna daripada harus menunggu resepsionis di mejanya yang entah kemana tak terlihat di mana-mana.

Seokjin mengintip lewat kaca kecil di pintu dan terkejut begitu mendapati ada sang professor yang dia cari sedang memberikan materi di depan kelas. Buru-buru dia tarik kembali badannya ke dinding kelas, bersembunyi sambil menetralkan jantungnya yang mendadak berdetak cepat. Mereka tidak bertemu pandang, tapi entah kenapa rasanya masih sama seperti terakhir kali dia melihat Namjoon. Tetap berdegup dan senang tak terkira.

Sekali lagi dia mengintip, dan sialnya malah bertemu pandang dengan si professor. Kali ini Seokjin benar-benar ingin bersembunyi saja dan tak jadi menemuinya. Lagipula dia belum membuat janji temu dengan Namjoon dan bertanya apakah hari ini dia senggang atau tidak.

"Dasar bodoh," maki Seokjin pelan pada dirinya sendiri.

Ini akibat terlalu senang untuk bertemu dengan Namjoon. Sampai lupa bagaimana tata etika dalam bekerja bagaimana. Namjoon itu professor. Pasti dia sangat sibuk setelah ini dengan jadwal di luar mengajarnya.

Akhirnya Seokjin memilih untuk menunggu saja sampai professor selesai mengajar. Dia pun berdiri di sisi dinding kelas lainnya--di depan kelas A3--mengawasi dari sana. Jika jadwal mengajar di kampus lamanya ini tidak berubah, berarti lima menit lagi kelasnya akan berakhir. Waktu yang cukup singkat untuk menetralkan jantungnya.

Oh, Kim Seokjin. Diamlah atau nanti professor itu akan dengan suara jantungmu yang sudah seperti drum ini.

Sial.

Lima menit kemudian pintu kelas A3 terbuka bersamaan dengan keluarnya satu persatu mahasiswa dari dalamnya. Sontak beberapa dari mereka seperti terkejut karena melihat Seokjin di sana. Sayup-sayup mereka bersorak tertahan seperti berbisik kepada temannya seperti ini: 'Senior Kim Seokjin disini!' sambil berlalu pergi, takut Seokjin melihatnya. Dan setelahnya dia mendengar pujian seperti 'Tampannya, Ya Tuhan!'

Belum selesai Seokjin menikmati momen-momen membahagiakan ini, Kim Namjoon pun keluar dari kelasnya. Dia terkejut mendapati Seokjin ada di sana. Terlebih Seokjin yang kembali berdebar. Bodohnya, dia malah mematung selama beberapa detik, menatap wajah professornya itu. Barulah ketika Namjoon membuka suaranya, dia pun tersadar dari lamunannya mengagumi wajah Kim Namjoon yang tak berubah meski sudah lima tahun tak bersua.

"Kim Seokjin?"

"H-halo, Prof." Dia pun membungkuk dalam dengan gerakan cepat.

Sekitarnya mendadak menjadi canggung. Tak ada yang bicara sama sekali. Hanya saling menatap dengan Namjoon yang tersenyum tipis padanya, terlihat sangat berwibawa dan manis secara bersamaan dengan lesung pipinya itu, dan Seokjin yang sibuk menganggumi (lagi) sambil mencari kata-kata yang tepat untuk membuka pembicaraan kembali.

Baru akan Namjoon ingin bicara, Seokjin sudah lebih dulu membuka suaranya.

"Jika anda ada waktu, maukah minum kopi bersama sambil membicarakan naskah fiksi yang anda kirim ke penerbit kami? Saya rasa kita perlu membicarakannya untuk ditindak lanjuti..." Seokjin bicara layaknya rapper, cepat sekali tanpa koma, namun di akhir suaranya mengecil karena malu sendiri.

Tak diduga Namjoon malah menahan tawanya, gemas melihat tingkah Seokjin yang tak pernah berubah itu, lalu mengangguk setelahnya. "Baiklah."
   
  
.
  
  
Di sini lah Seokjin sekarang, di dalam kantor pribadi Kim Namjoon. Duduk di kursi yang di depannya meja kerja Namjoon dengan segala buku dan kertas-kertas tugas mahasiswa yang bertumpuk entah kapan akan diserahkan. Suasana kantornya yang hangat ini mengingatkan Seokjin akan kenangannya saat masih berkuliah di sini.

Dia dulu pernah beberapa kali mampir untuk memberikan tugas atau melakukan bimbingan tambahan terkait penelitan akhirnya. Kim Namjoon bukan dosen pembimbing skripsinya dulu. Tapi entah kenapa bicara dengan Namjoon lebih banyak mendapatkan jalan keluar untuk menyelesaikan tugas akhir yang menyesakkan itu.

Ruangannya masih sama. Penuh dengan tanaman bonsai di sepanjang jendela besarnya, dan satu pot kecil bonsai di atas mejanya. Lemari bukunya juga jadi lebih penuh daripada terakhir kali dia ke sini. Dan ada beberapa figurin Bear Block di dalam etalase kaca khusus. Rasanya seperti berada di gudang daripada kantor. Banyak barang dimana-mana.

"Maaf, berantakan. Belum sempat bersih-bersih," ujar Namjoon tiba-tiba sambil meletakkan segelas kopi di atas meja, tepat di depan Seokjin.

Pria itu menggumam terima kasih sementara Namjoon menempatkan dirinya di kursinya sendiri. Menyesap kopinya lalu menyenderkan punggungnya di kursi putar itu.

"Jadi yang datang hari ini sebagai apa? Editor Kim Seokjin atau Mahasiswa Kim Seokjin?" Dia tersenyum setelah itu, senyum khas dengan lesung pipinya ditambah suara rendahnya yang menenangkan itu.

Oh, Tuhan. Seokjin rasanya ingin berlama-lama saja disini dan berbicara banyak hal. Bukan sebagai editor ataupun mahasiswa, tapi sebagai temannya. Andaikan saja dia sudah berada di titik untuk menjadi teman professornya itu. Pasti tidak akan secanggung ini.

"Saya rasa anda sedang sibuk, jadi saya akan mementingkan pekerjaan terlebih dahulu," jawab Seokjin lalu mengeluarkan amplop coklat milik Namjoon dari dalam tasnya.

"Lalu setelah itu kita bicara sebagai mahasiswa dan professor?" tanyanya sambil tersenyum usil, alih-alih membuka dokumennya sendiri di komputer.

Ambigu sekali. Terdengar seperti Namjoon ingin berlama-lama bicara dengannya, atau malah dia hanya emang lagi usil dan bertanya karena Seokjin menggunakan kata 'terlebih dahulu'. Seokjin sampai bingung sendiri mau bereaksi apa.

Tentu saja dia gugup. Tapi dia harus bersikap profesional seperti yang selama ini dia lakukan pada penulisnya agar kerja sama berjalan lancar. Pun berusaha untuk tidak terlalu senang berada berdua dengan Namjoon meski jantungnya berdebar terus dengan telinga yang semakin memerah.

"Mari saya ceritakan cerita yang saya tulis ini. Dengarkan baik-baik karena ini bisa menjadi pertimbangan anda ketika nanti merevisi tulisan saya."

Seokjin pun mengangguk.

"Ini terjadi lima tahun yang lalu ketika saya bertemu dengan anak ini."
      
   
[*]

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang